Dr. Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)
“Barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia” (Hugh Dalziel Duncan, 1997 : 13)
UANG merupakan raja dan segala-galanya bagi manusia. Uang bahkan telah menjadi “agama” baru bagi masyarakat modern. Demikianlah berbagai ungkapan yang sering kita dengar, saksikan, dan mungkin juga kita lakoni sendiri dalam keseharian. Segala urusan akan beres, bila angka-angka yang tercetak dalam lembaran kertas atau logam yang dibuat sedemikian rupa tersedia di depan mata.
Hugh Dalziel Duncan dalam artikelnya; The Establishment of Money as a Symbol of Community Life; Money as a Form of Transendence, yang diambil dari buku Communication and Social Order (1962/1997) memberikan pernyataan yang bisa membuat merah telinga siapa saja, “barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia” (Duncan, 1997:13). Ungkapan Duncan di atas, dipertegas Carlyle dan Marx dengan memberikan kesepakatan, bahwa misteri uang terungkap melalui pakaian yang di sana ditandai perbedaan kelas dan kekuasaan.
Pergeseran orientasi hidup dengan menjadikan modal, uang, atau alat produksi sebagai kekuasaan telah tumbuh di mana-mana, yang jauh sebelum itu justeru telah menjadi dasar perjuangan kelas kaum proletariat melawan kaum borjuasi yang dihela melalui pemikiran-pemikiran Karl Marx.
Bagi mereka yang tidak memiliki modal atau uang, bersiaplah tersingkir atau disingkirkan dari gelanggang kehidupan. Uang telah menjadi sebuah “komunitas” (dengan tanda petik) yang memiliki hukum-hukum, tradisi, dan hak-hak secara empirik.
Yuval Noah Harari dalam bukunya, Money, menyebut lebih tegas, uang merupakan puncak dari toleransi manusia, uang lebih berpikiran terbuka daripada bahasa, hukum negara, norma budaya, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan sosial.
Uang juga merupakan satu-satunya sistem kepercayaan ciptaan manusia yang dapat menjembatani setiap jurang kultural, dan tidak mendiskriminasi atas dasar gender, agama, usia, ras, atau orientasi seksual (Harari, 2018:24).
Tanpa sadar, hakikat hidup mulai dikalkulasi. Orang mulai menghitung nilai kemanusiaan melalui angka-angka. Sesuatu yang amat fatal bagi peradaban kemanusiaan. Dalam kawah candradimuka itulah, uang mulai menjadi penyangga tatanan sosial.
Angka sekian ditambah deretan angka nol dalam lembaran kertas maupun tumpukan logam telah menyeret masyarakat dunia menuju kawasan yang demikian enigmatik. Lebih dari itu, melalui uang, manusia diseret hingga kehilangan pribadi (impersonalitas), menggapai roh obyektif atas subyektif.
Bahkan sosiolog Thorstein Veblen (1857-1929) menganalisis, penggunaan uang telah membangun sikap dan budaya tanding-menandingi (emulasi) yang tak sehat antara satu individu dengan individu lain. Tak berlebihan bila ada ungkapan; Cinta akan uang adalah akar segala kejahatan…
Veblen menganalisis lebih jauh, bahwa norma-norma selera yang berkaitan dengan uang jika tidak dikomunikasikan dengan baik, maka fungsi sosial yang benar, baik, dan indah tak dapat dipahami.
“Agama uang” –demikian ia disebut— mencapai puncak kejayaannya sekitar tahun 1925, saat Calvin Coolidge, Presiden Amerika ke-30 memberitahu warganya, “our business to business,” (urusan kita adalah bisnis). Dari sinilah, wabah dan virus “agama uang” mulai menjalar, yang saat ini perkembangannya demikian pesat dan makin canggih, menghantam dinding dan ruang realitas sosial kita. Mulai dari keluarga, kerabat hingga lingkup lebih luas. Wabah uang kini telah menjadi ukuran di dunia manapun.
Termasuk selain uang kertas dan uang logam, kini hadir dengan uang digital (bitcoin) yang ditemukan Satoshi Nakamoto dan diperkenalkan pada Januari 2009 lalu. Di mana-mana ungkap Duncan, orang membangun jejaring dan menganyam dominasi dan kekuasaan melalui uang. Di sudut kota New York misalnya, kekuasaan sosial semata-mata hanya kekuasaan uang. Nilai lebih secara sosial telah didasari oleh rekening bank yang gemuk.
Pada bidang seni sastra, juga terjadi hal yang sama. Ketika F. Scott Fitzgerald (1896-1940) dalam novel yang ditulisnya tentang orang-orang kaya, ia menggambarkan kelompok the have ini sebagai sosok yang memuat nafsu dan perasaan, melalui ungkapan misteri uang yang dapat mengimbas segala bentuk hubungan antar perorangan.
Pada wilayah politik dan kekuasaan jangan lagi ditanya. Uang menjadi penentu sejauh mana kebijakan itu dikeluarkan berdasarkan deretan angka nol hingga menentukan hajat hidup rakyat. Demikian halnya untuk memenangkan kompetisi dalam satu partai politik, tidak lepas dari kalkulasi-kalkulasi angka.
Sejak perburuan untuk mendapatkan rekomendasi partai politik, segala aturan partai acapkali dilanggar, bila Anda mampu menghadirkan deretan angka-angka di atas meja. Ini bukan lagi rahasia, sekalipun banyak politisi yang berdalih tentang ini. Angka-angka telah menjadi dewa.
Ini belum selesai. Perjalanan masih panjang. Mari membayangkan, bagaimana dari suara (milik pemilih) berubah menjadi angka, lalu menjelma menjadi kursi, dan akhirnya kursi kemudian menentukan berapa harga dari suara. Dalam pemilihan kepala daerah (untuk menyebut beberapa kasus di daerah-daerah), memegang kursi di legislatif adalah kalkulasi sejumlah angka-angka yang harus ditunaikan Sang Calon Kepala Daerah.
Tidak hanya itu, Anda sebagai orang yang akan bertarung menjadi salah satu calon pemimpin/calon kepala daerah, seberapa banyak “uang di kantong” dan itulah yang menentukan seberapa panjang deretan tim sukses yang akan mengawal Anda.
Dengan “uang yang ada di kantong” Anda dapat mengendalikan tim sukses atau pendukung Anda. Merusak, memaki, memukul, dan sebagainya. “Uang yang ada di kantong” Anda akan menjadi senjata dan benteng paling ampuh untuk menyihir dan menghipnotis orang-orang sekitar Anda. Kemudian Anda pun dilekatkan dengan simbol: “dermawan, baik hati, dan seterusnya.”
Jadi jangan heran, jika berkaitan dengan uang orang tak segan menghalalkan segala cara. Dalam kenyataan sehari-hari, orang mengejar uang dengan saling jilat, sikut, dan penuh warna kesantunan, kemunafikan, dan kekerasan, merupakan hal yang telah dianggap biasa-biasa saja.
Kenyataan ini telah memberi isyarat, bahwa kita tengah mulai menyuburkan ciri-ciri dari sikap dan watak plutokrasi. Yaitu mereka yang memiliki modal/uang atau alat produksi untuk tujuan-tujuan pribadi. Inilah yang oleh Otto Fenichel (1897-1946) memberi argumentasi : “kita akan menemukan bahwa dorongan untuk memupuk kekayaan adalah bentuk khusus dari naluri kepemilikan yang dimungkinkan oleh fungsi sosial uang dalam sebuah masyarakat kapitalis.”
Ya, kapital, uang, modal, merupakan sesuatu yang dibenci tapi dirindukan di tengah keterpurukan semua sendi kehidupan. Dengan uang, kita kerap menjadi sok moralis.
Apa yang disinyalir Fenichel di atas boleh jadi benar, di mana akhir-akhir ini, kerap kita mendengar dan membaca, berbagai fasilitas maupun dana yang diperuntukkan bagi publik terenggut oleh watak rakus tak bermoral. Dana desa, dana pembangunan, hingga dana lain. Publik juga ramai dengan perbincangan tentang berbagai biaya publik yang nilainya tak menentu. Semua dana publik itu mulai menyebarkan aroma busuk di sekitar kita.
Karena dengan uang orang tak segan-segan bermain demi memuaskan hasratnya meski rela melampaui batas-batas. Dapatkah kita memperoleh semua nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran dengan watak yang selalu ditutupi perilaku menghalalkan segala cara akan uang? [**]
(Tulisan ini pernah terbit di Lefo.Id. 09 Juli 2020)