EXPOSEMEDIA.ID, MANADO – Pengamat politik sekaligus akademisi Unsrat, punya alasan sendiri tentang politik identitas. Dia meyakini, politik identitas tak akan laku bila dijadikan jualan di Pilkada Manado atau Sulut
Menurut Liando, faktor kawin mawin ataupun faktor lain menjadi salah satu sebabnya.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas POKDEM dan Jurnalis’M, Jumat (26/9) akhir pekan kemarin.
Secara detil, Liando merinci ragam prilaku pemilih yang selalu muncul dalam setiap momentum Pilkada.
Diantaranya pemilih politis, sosiologis, Apatis. Pragmatis dan Tragis.
Pemilih politis menurutnya, adalah prilaku pemilih yang memilih calon tertentu karena kesamaan kepentingan.
Pemilih merasa calon mampu mewujudkan program yang sesuai kepentingannya. Bisa karena pertimbangan satu profesi. Dokter atau jurnalis akan pilih sesamanya.
Selanjutnya pemilih sosiologis. Untuk kategori ini, seseorang memilih lantaran kesamaan identitas. Kesamaan aliran di organisasi. Jadi condong ke hubungan emosional. Bisa agama, suku, etnis atau sama daerah asal.
Ada juga pemilih apatis. Pemilih kategori ini adalah mereka yang tidak peduli, lantaran tidak memberi dampak apa-apa. Biasanya akan memilih dengan pertimbangan. Mereka sangat kritis. Tidak mudah percaya, akibat trauma masa lalu.
Masih menurut Liando, pemilih selanjutnya adalah pemilih pragmatis. Yaitu pemilih yang memilih calon tertentu karena imbalan jangka pendek atau terpaksa memilih karena keadaan.
Dan paling akhir adalah pemilih tragis. Mereka ini memilih karena terpaksa atau dipaksa oleh kekuatan penguasa. Karena mereka bergantung nasibnya kepada penguasa.
“Lima kategori ini bisa lahir dan mati kapan pun. Misalnya pemilih politis bisa jadi apatis. Pemilih tragis akan hilang jika tidak ada kepentingan incumbent. Dan biasanya pemilih sosiologis ada di kota seperti Manado,” tuturnya.
Karena itu, Liando meyakini politik identitas tidak akan berdampak besar karena sosiocultur pemilih Sulut tidak terlalu heterogen, kawin mawin atau sebab lainnya. (rin/*)