EXPOSEMEDIA, Jakarta – Kehadiran Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia (RI), Ma’ruf Amin di tanah Papua nampaknya tidak semua pihak merespon baik. Sesuai jadwal, Wapres akan berkantor di Papua selama lima hari dan sejak tanggal 9 Oktober ia sudah berada di Kota Jayapura.
Kehadiran Wapres RI, sebagaimana dilansir dari media Ceposonline.com, mendapatkan kritikan pedas dan protes keras sekaligus kekecewaan dari l masyarakat adat di wilayah Tabi-Saireri. Hal itu seperti disampaikan Yulianus Dwaa, S.KM, Ketua Forum Intelektual Tabi-Saireri kepada sejumlah wartawan.
“Kami berharap kehadiran Wapres tidak hanya seremonial saja berkantor di Papua,” kata Yulianus, Rabu, (11/10/2023) sore.
Yulianus menyebut Wapres seperti berwisata ke Papua, tak lebih. Lanjut Yulianus, menyampaikan kekecewaannya bahwa masyarakat adat Tabi-Saireri yang mau bertemu Wapres selama berkantor di Papua, namun tidak diberikan ruang oleh Pemerintah Provinsi Papua.
‘’Persoalan yang terjadi di tanah Papua saat ini ada banyak, dan ini perlu diketahui Pak Wapres. Itu sebabnya, kehadiran Wapres ini seharusnya membantu mencari solusi dan kami berharap ini bisa diselesaikan. Harus jelas kehadiran Wapres di Papua yang notabenenya sebagai daerah Otsus,” ujar Yulianus.
Diuraikan lagi, terkait Undang-Undang Otsus, maka pasti berbicara tentang eksistensi orang Papua. Dimana di dalamnya itu ada masyarakat adat. Pihaknya melihat ada dua kelompok yang diakomodir untuk berbicara dengan Wapres saat ini yakni dari kelompok pengusaha dan Gereja. Sementara dari kelompok masyarakat adat khususnya di wilayah Tabi-Saireri ini tidak diberikan ruang.
‘’Idealnya diberikan ruang yang sama kepada seluruh stakeholder penting. Masyarakat adat itu penting peranannya di Papua ini, jangan seolah-olah diabaikan dan dilecehkan. Kami mau memberikan masukkan terkait kebijakan proses pembangunan yang ada di Provinsi Papua. Kok, tidak mau dipertemukan dengan Wapres,’’ tutur Yulianus.
Selanjutnya, berkaitan dengan Badan Pengarah Percepatan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) yang mana anggotanya sudah dikukuhkan oleh Wapres, juga mendapat sorotan serius. Yulianus mengkritik keras soal pembentukan BP3OKP tersebut.
“Harus diperjelas kehadiran Lembaga BP3OKP ini untuk apa di Papua?,” tegas Yulianus.
Aktivis vokal itu menambahkan, seharusnya dua aspirasi yang pernah disampaikan masyarakat adat ke Wapres saat mereka berkunjung ke kantor Wapres di Jakarta beberapa waktu lalu mendapat respon dan tindaklanjut. Ironisnya, belum ada kabar yang menggembirakan terkait itu.
‘’Dua aspirasi itu terkait Pj. Gubernur Papua dan soal Majelis Rakyat Papua (MRP). Jadi sampai hari ini kami belum mendapatkan kepastian terkait jawaban aspirasi kami soal MRP yang masih bermasalah,” ungkap Yulianus.
Terkait MRP, pihaknya juga sudah menyampaikan aspirasi ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Wamendagri, Wempi Watipo termasuk Pj. Gubernur Papua, Ridwan Rumasukun. Namun sampai saat ini belum ada jawaban dan terkesan dibiarkan. Wapres menurutnya harus melihat bahwa ini adalah persoalan yang harus diselesaikan selama ia berada di Papua.
“Hari ini kami minta ketegasan dari lembaga-lembaga terkait soal kepastian MRP. Inikan bahasanya Wapres berkantor di Papua, tetapi pembangunan istana Presiden dan Wapres di tanah Tabi itu sudah sampai sejauh mana. Padahal lahannya sudah diberikan oleh pihak adat, mohon ini diklarifikasi,” ujar Yulianus.
Pada kesempatan ini, pihaknya juga meminta kepada Pj. Gubernur Papua, Ridwan Rumasukun untuk membuka diri menerima masukan, usul dan saran dari semua komponen masyarakat Tabi-Saireri.
“Ingat, di Provinsi induk Papua ini hanya tersisa kami masyarakat Tabi-Saireri, sehingga Pj. Gubernur harus membuka diri,” tambah Yulianus.
Tambah kata Yulianus, ada sejumlah agenda penting yang harus disukseskan yakni Pemilu legislatif, Pilpres, Pilkada dan juga MRP yang harus diselesaikan dalam masa kepemimpinannya sebagai Pj Gubernur Papua.
Hal senada disampaikan, kepala suku Tobati (Imbi Numbay), Gerson Hassor yang mempertanyakan alasan Pj Gubernur Papua, Ridwan Rumasukun yang sampai sekarang tidak mau menerima pihak adat.
“Kenapa Pemerintah Provinsi Papua dan pihak terkait tidak mau mengundang kami pihak adat sebagai pemilik hak di atas negeri Port Numbay dan Saireri ini,” tegas Gerson.
Gerson melihat yang diundang bertemu dengan Wapres hanya dari pihak gereja dan para pengusaha serta lain-lainnya. Padahal adat lebih dulu ada, baru pemerintah itu muncul bangun gereja dan lain sebagainya.
“Sekali lagi saya tegaskan disini bahwa di atas negeri ini ada pihak adat dan kenapa kami tidak dilibatkan dalam kunjungan Wapres selama berkantor di Papua,” kata Gerson.
Hal serupa disampaikan, perwakilan Dewan Adat Tanah Merah, Eduard Apaseray yang sangat menyesalkan dalam kunjungan Wapres tidak melibatkan pihak adat.
“Seharusnya pihak adat dilibatkan dan diberikan ruang untuk bertemu Wapres, itu penting untuk kemajuan pembangunan dari berbagai sisi yang terjadi di eilayah Tabi-Saireri,” pintanya.
Selain itu, Eduard mengkritis terkait pemberitaan dari berbagai media massa yang justru Wapres lebih memberikan pujian kemegahan gedung kantor Gubernur Papua. Padahal seharusnya kehadiran Wapres di Papua tersebut bisa melihat persoalan atau masalah yang terjadi agar diberikan solusi dan penyelesaian.
“Kami melihat Wapres sebetulnya berkantor di Papua hanya untuk berwisata saja,” ujar Eduard.
Di tempat yang sama, kepala suku Saireri, Hanok Tanaty, meminta kepada Wapres segera menjawab aspirasi pihak adat terkait MRP yang sejauh ini masih bermasalah dan belum dilantik. Hanok mendesak, agar masalah MRP di Provinsi Papua harus segera diselesaikan, mumpung Wapres masih berkantor di Papua. Ia juga meminta agar orang-orang yang duduk di MRP harus anak asli yang merupakan perwakilan dari wilayah adat Tabi-Saireri.
“Papua ini sudah dibagi menjadi empat provinsi. Untuk itu anggota MRP di Papua harus anak asli dari wilayah Tabi-Saireri baik itu perwakilan adat, agama dan perempuan,” kata Hanok.
Hanok dengan tegas meminta agar anggota MRP Provinsi Papua jangan lagi diisi dari daerah lain seperti dari Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Selatan.
“Saya tidak sepakat apabila anggota MRP Provinsi Papua ini diisi lagi oleh saudara-saudara kita dari wilayah pegunungan. Mereka sudah ada tempat di sana, kenapa mesti mau isi lagi ke sini. Ini khusus untuk anak Tabi-Saireri saja,” tuturnya tegas.
Hanok menjelaskan, ada 8 anggota MRP yang bermasalah dan di situ titik persoalan sehingga penundaan pelantikan MRP di Provinsi Papua.
“Segera kembalikan 8 orang itu ke daerah asalnya. Wapres harus selesaikan masalah ini, apalagi di depan mata sudah dihadapi agenda nasional untuk Pemilu baik Pileg, Pilpres dan Pilkada, sehingga kehadiran orang-orang di lembaga MRP ini harus segera dituntaskan,” ujar Hanok menutup. (*/Redaksi)