Dari FGD POKDEM dan Jurnalis’m, Politik Elektoral Suara Umat Kemana ?


PROPAGANDA Kampanye politik identitas kian marak. Bertebaran di media mainstream. Apalagi di media sosial. Gejala kurang baik untuk demokrasi didiskusikan Poros Kedai Demokrasi (POKDEM) dan EXPOSEMEDIA.

Diskusi kali ini POKDEM mengambil tema Politik Elektoral, Mau Kemana Suara Umat? “POKDEM hadir untuk memecah kebuntuan dan sekat demokrasi. Ini diskusi ketiga yang lebih terbuka. Dan kami non partisan secara politik. Tema ini sangat menarik, lantaran politik identitas menjadi dagangan simbol,”kata Koordinator POKDEM Agus Abdullah saat membuka diskusi di WARKOP DIHOOK pekan lalu.

Diskusi FGD (focus discussion group) menghadirkan para pembicara dari beragam persfektive di Sulut. Seperti pakar kepemiluan Dr Ferry Liando, pakar otak dan perilaku Dr dr Taufik Pasiak, surveyor politik Baso Affandi, praktisi politik Troy Pomalingo, Joko Sutrisno, dr Makmum Jafara, sosiolog muda Nono Sumampow, Ketua Jurnalislam Jeffery Alibasyah, Buang Bua ST, Arifin Wahid dan Ketua Pemuda Muslimin Manado Hadi P. Dan moderator jurnalis senior Idham Malewa.

Secara garis besar, kata Dr dr Taufik Paasiak, politik identitas tidak pernah hilang di setiap momen politik. Apalagi, di saat rezim pilkada langsung yang melibatkan tiga komponen. Yaitu pemerintah birokrat, korporasi dan kelompok civil society.
Dan biasanya antara birokrat dan koorporasi selalu sama kepentingan.

“Dulu kelompok korporasi hanya sebatas cukong. Danai para calon. Sekarang mereka yang jadi calon. Makanya kelompok civil society harus kuat,”kata penulis buku Otak Kota.

Baca Juga:  Jokowi : Pilkada 2020 Tak Akan Ditunda

Dia pun menyentil bahwa politik identitas sulit dihilangkan. Meski idealnya, pilihan yang dikuatkan oleh midle class adalah memilih karena gagasan. Jangan memilih lantaran simbol.


Untuk ukuran Sulut dan Manado yang ada paslon beda agama, Taufik punya pandangan politik identitas tidak akan efektif. Suara umat sulit diarahkan ke satu paslon.

”Kecuali ada tokoh kuat yang didesain dan narasi kuat memengaruhi emosi pemilih ditambah momentum. Tapi untuk Sulut dan Manado agak sulit karena waktu mepet,” katanya.

Pakar politik Dr Ferry Liando punya ulasan menarik. Dia memilah pemilih menjadi lima prilaku. Pemilih politis, sosiologis. Kemudian Apatis. Pragmatis dan Tragis.

Pemilih politis memilih karena kesamaan kepentingan. Pemilih merasa calon mampu mewujudkan program yang sesuai kepentingannya. Bisa karena pertimbangan satu profesi. Dokter atau jurnalis akan pilih sesamanya.

Pemilih sosiologis, memilih lantaran kesamaan identitas. Kesamaan aliran di organisasi. Jadi condong ke hubungan emosional. Bisa agama, suku, etnis atau sama daerah asal.

Pemilih apatis, mereka yang tidak peduli, lantaran tidak memberi dampak apa-apa. biasanya akan memilih dengan pertimbangan. Mereka sangat kritis. Tidak mudah percaya, akibat trauma masa lalu.

Pemilih pragmatis. Yang memilih karena imbalan jangka pendek. Terpaksa memilih karena keadaan.

Terakhir pemilih tragis. Terpaksa atau dipaksa oleh kekuatan penguasa. Karena mereka bergantung nasibnya kepada penguasa.

“Lima kategori ini bisa lahir dan mati kapan pun. Misalnya pemilih politis bisa jadi apatis. Pemilih tragis akan hilang jika tidak ada kepentingan incumbent. Dan biasanya pemilih sosiologis ada di kota seperti Manado,” tuturnya.

Baca Juga:  Titik Kumpul Kemajuan, MSM Tawaran Kepemimpinan Masa Depan

Terkait dengan kemana suara umat, Liando tidak terlalu yakin kalau di Sulut politik identitas akan berdampak besar. Lantaran sosiocultur pemilih Sulut tidak terlalu heterogen. Karena Kawin mawin dan lainnya.

Baso Afandi surveyor pilkada mengatakan sentimen pemilih lantaran kesamaan identitas kecil pengaruh ke calon. Apalagi di Manado. Dia mencontohkan Abdi Buchari dan Jimmy Rimba Rogi, lantaran popularitas Imba Rogi sangat tinggi.

Politik identitas akan manjur seperti fenomena DKI. Asalkan ada tokoh kuat.Tapi Baso pesimis akan sama di Sulut.

“Di agama masing masing arus belahan kepentingan juga sangat kuat,”katanya.

Dia sepakat lima komponen pemilih. Dan yang dominan adalah pemilih pragmatis. Dia pun membeberkan ada empat prilaku pemilih. Memilih aktif dan tidak aktif. Tidak memilih aktif dan tidak aktif.

Joko Sutrisno yang pengalaman sebagai praktisi menambahkan ada juga pemilih hepatitis. Dan biasanya kambuh setiap pilkada. Joko sendiri tidak yakin jualan identitas akan mengubah elektoral umat ke paslon yang seagama. Karena tidak akan efektif.

Sosiolog Nono Sumampow banyak membeber data terkait angka pemilih Muslim tidak serta merta akan menguntungkan calon seagama.

Dia merujuk pada pemilhan legislatif. Seharusnya kata Nono dengan pemilih Muslim sekira 38 persen. Jika dikonversi ke jumlah anggota DPRD Manado minimal 12 kursi. Dan mayoritas kursi itu disumbang dari daerah Tuminting Bunaken dan Singkil Mapanget. Tapi faktanya hanya 20 an persen.

Baca Juga:  Edisi Senin, 12 Oktober 2020

“Kuat secara demografi tapi lemah untuk satu kepentingan,” katanya.

Hadi P Ketua Pemuda Muslimin Manado sepakat bahwa kepemimpinan di elit Muslim kurang mengakar. Sehingga harapan membawa suara umat mustahil. Mereka lemah karena tidak kuat finansial. Mereka biasanya kelihatan kuat, padahal hanya klaim.

Dokter Makmum Jafara menegaskan pileg dan pilkada adalah rezim demokrasi. Idealnya demokrasi akan terkait dengan perimbangan. Tapi di Sulut faktor itu tidak terjadi. Salah satunya adalah komitmen para pimpinan partai Islam. Mereka bisa dikalahkan dengan logistik. Dia juga mengaku sulut menghilangkan sentimen identitas. Tapi, dia lebih memilih pemimpin tidak seideologi (keyakinan) daripada pilih seideologi tapi pembohong.

Koordinator Jurnalisislam Jeffry Alibasyah sulit untuk menyatukan suara umat. Dia beralasan karena figur yang sangat menentukan.

“Umat tidak bisa disatukan,”katanya.

Troy E Pomalingo mengatakan suara umat optimis bisa disedot untuk paslon muslim yang hanya satu di Pilgub dan Manado. Dia tegas mendorong kekuasaan harus ada perimbangan.

Dia mengaku suara umat bisa diekstrasi dengan narasi yang kuat. Dan paslon yang dia dukung Sonya Syarif akan meraih simpati oleh semua agama.

Terakhir koordinator Poros Kedai Demokrasi (POKDEM) Agus Abdullah menutup forum diskusi grup mengenalkan POKDEM adalah wadah para aktivis berbeda warna dan layar belakang profesi. Dia hadir untuk menjawab kegamangan. Serta menawarkan gagasan untuk demokrasi dan egaliterianisme. Diskusi ini tidak condong membawa misi sektarian kelompok.(red/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *