POLITISI JANGAN SERAKAH

Bung Amas

KESERAKAHAN membuat seseorang jatuh tertimpa musibah. Menyeret para pejabat publik terjungkal dan diborgol karena korupsi. Hidup kaya, mewah, tiba-tiba miskin melarat. Itulah akibatnya ketika menjadi pejabat publik tak mampu membawa diri.

Melakukan pembiaran, atau tak mampu mengontrol istri, dan keluarga untuk menerima praktek buruk gratifikasi terselubung. Memamerkan harta ‘’flexing’’. Hasrat untuk hidup kaya yang ditopang atas keserakahan telah banyak memakan korban. Setelah purna tugas, tidak sedikit politisi melarat.

Hidupnya menjadi menyedihkan. Direndahkan tetangga, tidak lagi mendapat sanjungan. Ditinggalkan kawan juang. Mereka yang sebelumnya menjadi bumper dihampir segala urusan saat menjadi orang penting (pejabat publik) menghilang berlahan.

Begitu berbahayanya menjadi politisi serakah. Menyalahgunakan kewenangan kekuasaan untuk mengeruk, memonopoli uang. Politisi yang seperti ini seperti mengubur dirinya sendiri. Bahkan, dianggap terlalu berani mengambil resiko dengan menggali kuburan sendiri. Berhentilah menjadi serakah.

Baca Juga:  Mengenal Alwan Rikun, Caleg PKS Bitung Dapil Maesa

Makin banyak pejabat publik yang serakah di republik ini, maka kita ikut berkontribusi memiskinkan rakyat. Membuat Indonesia semakin tidak berkah. Kemiskinan rakyat semakin bertambah. Jabatan dijadikan objek untuk mengkapitalisasi kepentingan rakyat.

Tidak puas dengan apa yang didapatkan (sesuai regulasi). Lantas, bertindak korup. Serakah mencuri hak orang lain diam-diam dilakukannya. Keserakahan politisi dan kerakusan tidak hanya beresiko membunuh rakyat, melainkan mematikan yang bersangkutan (politisi), dan keluarganya.

Menghindarlah dari perilaku serakah. Semakin sedikit dan terminimalisirnya politisi Indonesia dari warisan buruk serakah akan memacu Indonesia melaju menuju kemajuan. Kekayaan negara akan benar-benar terkelola, disalurkan, atau dipergunakan benar-benar pada tempatnya. Bukan dicuri koruptor lagi.

Baca Juga:  Dikalahkan di PTUN, Rektor Unsrat Banding

Politisi serakah kerap memandang dirinya paling benar. Menganggap orang lain salah. Berani menebar kritik dan otokritik, namun lemas, bahkan tau jika dikritik orang lain. Cenderunya mendominasi. Tidak mau didominasi. Sikap serakah membuatnya tidak pernah merasa puas.

Memacunya untuk mengumpulkan, menyimpan lebih banyak lagi kekayaan, dan stok kekuasaan agar ia dapat berbuat arogan kepada yang lain. Hidupnya seperti mesin, termobilisasi dengan pikirannya yang rakus. Sangat jarang menggunakan nuraninya.

Insya Allah di tengah kita, di sisi kiri dan kanan kita, bahkan di belakang kita, tak ada politisi serakah. Karena selain kikir, politisi seperti ini tidak pernah mengapresiasi apa kebaikan yang dilakukan pihak lain. Ia menganggap semua prestasi kolektif, itu karena insiatif, dan jerih payahnya sendiri.

Baca Juga:  Aznil Tan Bilang Partai Pecundang Takut Ada Pos Wamen

Kita doakan agar orang-orang dekat kita tidak terjerat, tidak terjangkut penyakit serakah. Sikap serakah bermula dari penyakit hati. Politisi yang serakah mereka mau memiliki lebih dari apa yang telah dimilikinya.

Keserakahan atau disebut juga ketamakan berasal dari kata tamak (greed, avarice, cupidity, covetousness). Atau bahasa Latinnya adalah avaritia. Pada prinsipnya sifat dan sikap serakah sangatlah membahayakan ketertiban sosial. Membahayakan juga diri sendiri, dan lingkungan sekitar kita. [**]

Oleh : Bung Amas, Alumni FISPOL Unsrat Manado

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *