Terkait Perkampungan Ilegal WNI di Malaysia Migrant Watch Layangkan Kritik Pedas

Aznil Tan

EXPOSEMEDIA, Jakarta – Adanya temuan pemerintah Malaysia terkait kampung WNI ilegal di Wilayah Negeri Sembilan, pada awal Februari kemarin, Migrant Watch menilai karena pemerintah Malaysia gagal memenuhi kebutuhan ketenagakerjaan buat rakyatnya secara legal. Penanganannya terhadap kasus tersrbut harus pendekatan humanis.

“Jangan salahkan WNI tersebut, mereka itu adalah korban dari sistem yang tidak becus dibuat oleh pemerintah Malaysia dan Indonesia untuk memfasilitasi kebutuhan rakyatnya dalam dunia ketenagakerjaan. Untuk itu, WNI tersebut mesti diperlakukan secara baik-baik dan penanganannya harus pendekatan persuasif dan edukatif. Pemerintah Malaysia tidak boleh sewena-wenang,” kata Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan kepada media, Jakarta (17/02/2023).

Persoalan pekerja ilegal masuk ke Malaysia adalah hal yang sudah lama terjadi dan sampai sekarang belum juga ditemukan cara mengatasinya. Aznil Tan menyebut bahwa hal tersebut karena belum terciptanya sistem yang efektif dan produktif yang menguntungkan kedua negara.

Baca Juga:  Kolaborasi Akademi Relawan dan Damkar Torehkan Program Belajar Bersama

“Pemerintah belum berhasil membangun sistem yang simbiosis mutualisne, menguntungkan semua pihak. Pemangku kebijakan kedua negara adalah orang teoritis dan tidak menguasai persoalan di lapangan, maka wajar sampai sekarang produk sistem dibuat tidak efektif, bahkan jauh api dari panggangnya, alias tidak nyambung. Pejabat ‘anak mami’ ini lah maka masih terus berlangsung karut-marutnya dunia ketenagakerjaan migran dan memakan korban rakyat jelata,” ketusnya.

Lebih lanjut Tokoh Aktivis 98 yang sekarang konsen pada isu pekerja migran ini menyampaikan persoalan ini juga disebabkan lemahnya penegakan hukum dan pemerintah Malaysia bermain ‘dua kaki’.

“Pemerintah Malaysia mengakui sendiri bahwa ada 70% pekerja migran ilegal bekerja di perusahaan peladangan sawit., ironisnya hanya segelintir perusahan ditindak. Artinya lemah penegakan hukum kepada perusahaan tersebut dan Malaysia bermain dua kaki untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja ditengah masyarakatnya mengalami ‘kiamat tenaga kerja”. Karena, satu sisi membiarkan perekrutan secara ilegal. Maka sampai kapanpun persoalan ini akan terus terjadi,” ujar Aznil.

Sisi lain, Aznil Tan mengungkap bahwa penempatan legal terjadi bancakan proses penempatan dilakukan secara tidak sehat oleh para mafia Malaysia bekerjasama dengan Indonesia.

“Mirisnya lagi, pekerja migran masuk secara legal, selain prosesnya rumit, pemerintah Malaysia seperti membiarkan pembancakan dilakukan oleh mafia penempatan pada proses penempatan untuk mengambil keuntungan secara tidak sehat. Seperti menunjuk Agen Visa Malaysia atau VIMA. Biasanya cuma berbiaya Rp 50 ribuan, sekarang berbiaya Rp 1 juta lebih. Masih banyak praktek tidak sehat lainnya yang melanggar MoU yang telah disepakati kedua negara. Praktek tersebut merusak sistem penempatan yang produktif dan terlindungi,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, temuan perkampungan ilegal WNI di Negeri Sembilan tersebut berada dalam hutan yang cukup terisolasi.

Direktur Imigrasi Negeri Sembilan Kenneth Tan Ai Kiang mengatakan timnya harus berjalan 1,2 km melalui hutan sebelum mereka mencapai daerah tersebut. Namun, di dalamnya terdapat beberapa fasilitas seperti sekolah dengan kurikulum Indonesia.

Dalam operasinya, pihaknya menahan warga dengan usia antara dua bulan dan 72 tahun. Sebelas dari mereka yang ditangkap adalah laki-laki, 20 perempuan dan sisanya anak-anak.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Judha Nugraha mengatakan 67 WNI penghuni perkampungan ilegal yang ditangkap Malaysia sudah diberi pendampingan hukum.

Dari 67 warga Indonesia yang ditangkap, ada 36 orang yang masih anak-anak. (*/Amas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *