Hikmah Ramadhan: Puasa dan Fitrah Sebagai Negarawan

Penulis: Sunanto
Ketum PP Pemuda Muhammadiyah

SAAT tulisan ini disusun, tepat pada hari terakhir umat Islam menjalankan ibadah shaum Ramadhan 1441 H. Itu artinya, Muslim akan bertemu dengan gerbang hari raya kemenangan, Idul Fitri.
Momentum perayaan sekaligus pengingat bagi umat Islam untuk kembali ke fitrahnya sebagai seorang hamba dan khalifah di bumi ini.

Sekaligus pertanda apakah selama sebulan penuh menjalankan ibadah shaum serta ibadah lainnya sudah mendapatkan nilai takwa sebagaimana tujuan dari ibadah tahunan ini.
Hanya saja perayaan Idul Fitri tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, bahkan selama umur hidup sebagian besar dari kita. Orangtua, kakek nenek kita mungkin pernah mengalami situasi mirip memprihatinkan seperti ini di era perjuangan kemerdekaan.

Wabah virus corona baru (Covid-19) ini telah mengingatkan, menyentak dan melimbungkan pikiran dan kesadaran umat manusia. Orang miskin baru karena pemutusan hubungan kerja (PHK), kebangkrutan bisnis yang sedang dijalani tetiba membengkak jumlahnya.

Aktivitas berubah, menjadi serba virtual, baik itu bekerja, rapat-rapat, perkuliahan atau sekolah dan banyak aktivitas publik lainnya.

Mengubah budaya dan kebiasaan yang sudah terbangun selama ratusan tahun terakhir dalam kebudayaan manusia di dunia. Kehidupan ekonomi dunia lumpuh total, tak kurang dari 334.000 nyawa melayang dan jutaan manusia di muka bumi terjangkit virus mematikan ini. Di Indonesia sendiri sudah ada 20.796 orang sudah terjangkit dan korban kematian yang diakibatkan virus ini telah mencapai 1.326 orang.

Dengan kondisi memprihatinkan ini, menjadi bahan perenungan mendalam baik sebagai umat Islam dan sebagai warga negara.

Wabah Covid-19 ini menjadi momentum untuk peningkatan kelas sebagai hamba Tuhan. Allah SWT memberikan anugerah Islam sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam menjemput keselamatan baik di dunia dan akhirat.

Baca Juga:  Tetap Khusyuk, Ustadz Mario Khotib dan Imami Sholat Ied #DirumahAja

Gagapnya petugas rakyat

Dalam konteks sebagai umat Islam Indonesia, spektrumnya sangat luas. Penulis ingin mengingatkan tentang hikmahpuasa yang dikaitkan dengan problematika bangsa.

Apabila muaranya adalah takwa, hari raya Idul Fitri dan hari-hari berikutnya idealnya bersenyawa sebagai sikap hidup negarawan, melawan Covid-19, memberantas kemiskinan, melawan perilaku korupsi dan juga pembasmi ketidakadilan yang terjadi di negara Indonesia.

Harus diakui, wabah ini ternyata tidak membuat masyarakat sadar bahwa bangsa ini sedang tertimpa masalah yang sangat serius. Bukan hanya masyarakat, pemerintah pun nampak gagap dalam melakukan penanganan virus yang mematikan ini.

Fakta persebaran corona yang mengkhawatirkan, ternyata tidak membuat Presiden Joko Widodo dan pembantunya lebih kompak.

Sehari-harinya informasi yang publik terima kerap membingungkan, masih dihadapkan dengan silang pendapat antar pejabat. Kondisi kemudian semakin parah karena berbagai kebijakan dalam menangani corona selalu berubah-ubah.

Belum usai kebingungan dari satu kebijakan, masyarakat sudah dibom kebijakan baru lagi. Dalam satu waktu pejabat A mewacanakan pelonggaran PSBB, beberapa waktu kemudian dibantah oleh pejabat lainnya.

Menteri A mengatakan warga di bawah 45 tahun bekerja kembali, sesaat kemudian Menteri B mengatakan tidak ada ketentuan dan kebijakan pembatasan usia itu.

Ruang publik kita jadi semakin sakit karena silang pendapat pejabat itu. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, begitu gambarannya.
Suasana pandemi yang gawat ternyata belum membuat para pemangku kepentingan sadar bahwa mereka sejatinya adalah petugas rakyat, sedang menjalankan amanah rakyat, memastikan konstitusi berjalan sesuai hajat publik dan para pendiri bangsa.
Pernyataan yang berbeda-beda karena persepsinya masing-masing, menambah keriuhan, kegaduhan dan publik yang semakin merasakan kecemasan.

Baca Juga:  Cak Nanto Berbagi Sembako di Daerah Penjaringan Jakarta

Dua peristiwa besar seperti ramadhan dan pandemi yang mematikan ini ternyata belum membuat para pengambil kebijakan negeri ini untuk mengekang hawa nafsu. Nafsu untuk silang pendapat, mau bersabar, ikhlas dan kompak menjalankan mandat rakyat.

Satu nyawa rakyat sangatlah berharga. Jangan samakan nyawa rakyat dengan hitungan benda, karena tak bisa dipertukarkan dengan ap apun.

Kegagalan melindungi nyawa rakyat adalah pengkhianatan atas mandat rakyat. Sadarilah bahwa dampak wabah ini merupakan sebagian kecil dari masalah bangsa.

Masih ada masalah lainnya seperti kemiskinan, perilaku korup sebagian oknum pemangku negara, penguasaan ruang ekonomi oleh segelintir orang, dan masalah-masalah bangsa lainnya.

Nilai kenegarawanan

Menjadi umat Islam yang sekaligus warga negara Indonesia adalah anugerah terindah dari Allah SWT. Negara berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Menjalankan tujuan bernegara untuk membumikan nilai moral persenyawaan dari Pancasila dan UUD 1945. Umat Islam Indonesia yang berpuasa diwajibkan menahan hawa nafsu. Tidak hanya makan, tapi menahan marah dan ekspresi nafsu lainnya.

Sedangkan masyarakat Indonesia dilarang saling bersengketa dalam membangun negara. Ikhlas, sabar dan kompak saling tolong menolong mewujudkan cita-cita kedaulatan negara.

Persyarikatan Muhammadiyah misalnya, bergerak tak pernah lelah dan terus maju untuk berpihak kepada kaum mikin, terlantar, tertindas, terpinggirkan, termasuk anak yatim, yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia.

Sederhananya, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam selaras dengan nilai, norma dan kewajiban yang diembankan kepada seluruh warga bangsa.

Baca Juga:  Menepuk JIS, Terpercik ke Proyek Sendiri

Anak bangsa tersebut adalah masyarakat dengan berbagai kelompok sosialnya, dan pemerintah dengan berbagai struktur dan fungsinya.

Ibadah puasa yang dijalani selama 30 hari ini, harus dapat menjadi proses spiritual. Menjemput takwa dengan cara saling bergandengan tangan keluar dari pandemi corona yang mematikan ini.

Agar dicintai oleh Allah SWT, mari kita bersikap disiplin menjalankan segala ajaran Islam dan menerapkan nilai konstitusi dalam kehidupan sehari-hari.

Jika doktrin tauhid yang berdimensi sosial ini diamalkan dengan istiqomah, maka bukan tidak mungkin akan lahirnegarawan-negarawan baru sebagai pembebas dari keadaan masyarakat yang sarat dengan ketimpangan, kemiskinan, perilaku koruptif dan masalah-masalah lainnya.

Akan lahir negarawan yang senantiasa konsisten, jujur dan amanah dalam menjalankan praktik bernegaranya. Dari wabah Covid-19 akan lahir para pemimpin bangsa di berbagai sektor yang berkomitmen total menjalankan mandat rakyat. Gigih melepaskan diri dan rakyatnya dari wabah mematikan.

Negarawan yang mencintai rakyat dan negaranya dengan mengabdi secara sungguh-sungguh. Tidak ada lagi saling sikut dan perilaku saling bantah antar pejabat.

Masyarakat pun kemudian memfungsikan diri sebagai rakyat terbaik dengan cara saling bersatu padu melawan wabah ini. Dalam menghadapi problematika kebangsaan, masyarakat menjadi kekuatan sipil yang berkomitmen mewujudkan cita-cita besar negara ini.

Negarawan bergerak mengantarkan rakyat pada gerbang kemerdekaan sejati, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Membentuk negara yang berkemajuan, serta menyejahterakan warganya. Menjadi negarawan adalah fitrah sebagai khalifah di muka bumi. Teruslah bergerak, mengabdi dengan tulus untuk ibu pertiwi. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *