(Menapaki Jalan Terjal Keindonesiaan Yang Bermartabat)
Tarikan sebuah perhelatan berskala nasional, seperti Munas XI Kahmi, memang patut diberi substansiasi yang elegan, etis dan mampu memberikan kontribusi bagi keindonesiaan dan keumatan sekaligus. Forum ini, jangan di _down-grade_ lagi, seperti kita tak pernah belajar dari kearifan sejarah, atas apa yang terjadi pada Munas X lalu di Medan. Yang mana menyisakan cacat etika yang fatal, karena ulah personal yang mengatasnamakan KAHMI, telah merusak susu sebelanga.
Historia magistra vitae, ungkap Heredotus, bapak ilmu sejarah: bahwa sejarah adalah guru sang kehidupan. Bahkan adagium Perancis lama menyebutkan, _l’histoire se repete_, sejarah sering berulang ( _history repete itself_). Jika kita bermemori pendek dan ahistoris. Celakanya wartawan senior Alm. Rosihan Anwar menyebutkan bahwa bangsa Indonesia, adalah bangsa ahistoris, karena bermemori pendek, yang sering mengidap _amnesia sejarah._
Dengan belajar dari masa lalu ini, Insha Allah Munas Kahmi XI akan memberikan kontribusi terbaiknya, sebagai kelompok cendikiawan anak bangsa, bagi kemaslahatan Indonesia masa depan. Hal ini menjadi penting untuk digaris bawahi, mengingat situasi bangsa Indonesia, situasi dunia baik regional maupun global, bukan lagi biasa- biasa saja. Dunia tengah menghadapi pandemi global yang menimpa hampir seluruh negara, disertai dampak krisis ekonominya.
Disamping itu, pada beberapa titik, tengah terjadi eskalasi konflik, bahkan telah pecah konfrontasi terbuka. Sebut saja Rusia vs Ukraina, bangkitnya Kaukus AUKUS (Australia, United Kingdom, dan Amerika Serikat), dan eskalasi Laut China Selatan. Keseluruhannya jelas berdampak kepada Indonesia. Karena efek domino dan bola salju setiap konflik regional dan global, akan menggelinding kemana-mana. Pengalaman Indonesia selama ini, tak dapat dilepaskan dari implikasi konflik- konflik dunia tersebut. Bahkan dapat disimpulkan bahwa Indonesia berhasil ada hingga sekarang, dan lolos dari cengkeraman kolonialisme, karena kisruh global Perang Dunia II pada masa lalu tersebut.
Adapun HMI, yang terlahir pada 5 Februari 1947, juga di dibesarkan tengah-tengah pertarungan rekolonisasi Indonesia oleh kekuatan-kekuatan kolonial lama. Indonesia tidak sekedar menghadapi dua kali Agresi Belanda (1947 dan 1948), namun juga menghadapi serbuan 30,000 Pasukan Inggris di Surabaya pada 1945. HMI, pada Agresi Belanda kedua (1948), turut terpanggil membela tanah air. Karena memang tujuan pendirian HMI oleh Lafran Pane, adalah membela tanah air Indonesia, dan menegakkan syiar Islam. 1948 tersebut, Indonesia juga dirongrong dari dalam dengan kudeta bedarah Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin Muso, di Madiun. HMI pun bergerak ikut menyelamatkan republik, dari cengekraman komunisme ini.
KAHMI sebagai wadah berhimpun alumni HMI, tentu saja tak dapat lepas dari sejarah HMI dalam meletakkan marwah dan martabat bangsa Indonesia. Karena hampir dalam setiap gejolak yang mengancam eksistensi Republik, HMI selalu berdiri di depan, sebagai anak bangsa, untuk mempertahankan Indonesia dan keislaman. Konsekuensi etisnya adalah, KAHMI, sebagai seniornya HMI, patut menjadi patron perjuangan kegigihan etikal, bagi HMI, dalam berjuang, dalam kondisi sesulit apapun juga.
Apakah Perjuangan itu Telah Usai?
Indonesia, dalam catatan Greg Poulgrain, selalu saja menjadi _the battleground,_ ajang pertarungan global ( _JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia. Greg Poulgrain, 2020_). Battleground Indonesia ini, sangat luar biasa karena melintasi Kongo-Afrika, New York, Eropa, Sulawesi, Maluku hingga Papua dan Sumatera. Seorang pengajar sejarah pada Leiden University, Henk Niejmeijer, PhD (2011), menyebutkan, hampir seluruh peristiwa di pentas global masa lalu, seluruhnya terkait dengan Indonesia.Dari nyasarnya Colombus di Karibia, Bartholomeuz Diaz di Tanjung Harapan, hingga mendaratnya Alfonzo de Alberquerque di Malaka, adalah menjadi jalan menuju Indonesia.
Jika kesadaran geopolitik kita selaku cendikiawan KAHMI, di tarik ke alam kontemporer. Posisi Indonesia juga tak lepas dari upaya Perang Asimetrik atau Proxy War, yang tengah mengincar Indonesia dewasa ini. Ada dua pertarungan kekuatan besar yang berimplikasi bagi Indonesia. Kishore Mahbubani, menyebutkan, dunia kita tengah memasuki era berakhirnya dominasi Barat ( _The Asian 21st Century, Kishore Mahbubani,2022_). Dimana terjadinya apa yang disebut Kishore sebagai _The Asian Renaissance,_ yang sekaligus menandai peralihan peradaban dunia dari Barat ke Timur.
Indonesia, berada pada posisi strategis dalam arus perubahan besar ini. Sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar se ASEAN, dan memiliki sumber daya alam yang luar biasa, posisi ini, jika dikapitalisasikan menjadi _soft power_ geopolitik Indonesia untuk merambah masa depannya. Hal ini, jelas akan menghadirkan sosok baru Indonesia sebagai sebuah kekuatan regional baru dunia. Namun saja, posisi ini, sekaligus mengundang bayang-bayang intervensi, sebagaimana diungkapkan Greg Poulgrain.
Bagi KAHMI, ini adalah tantangan didepan mata, kemampuan diplomasi multilateral Indonesia, dalam momentum ini, menjadi sebuah keniscayaan tak terelakkan. Kontribusi KAHMI sangat diperlukan, sebagaimana perjalanan sejarah HMI sejak awal berdirinya di Jogja. Tentu saja, sebagai himpunan yang berbasis keindonesiaan dan keislaman, maka platform etik adalah basis utamanya. Penentuan lokasi tempat MUNAS XI KAHMI, perlu diletakkan dalam konteks peran strategis HMI dan KAHMI sebagaimana yang dideskripsikan diatas.
Karena bukan tidak mungkin, serangan asimetrik dalam proxy, sengaja menghancurkan HMI dan KAHMI, sebagai kekuatan cendikiawan muslim terbesar di Indonesia, dengan merusak sendi utamanya, yaitu mendekontruksi landasan etis. Apa yang terjadi di Munas X Medan, seharusnya menjadi pelajaran berharga, bahwa kita tak luput dari penyusupan untuk medekontruksi bangunan etikal dalam tubuh KAHMi sendiri. Bahwa Manado menawarkan diri sebagai tempat MUNAS XI KAHMI 2022, bukan saja sebuah pilihan untuk sekedar menjadi tempat berkumpul tanpa tujuan.
Dalam catatan Lukman Hakiem, mantan Ketum Jogja 1983-1984 ( _Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI, 2018_), bahkan menulis bab khusus tentang seorang tokoh Kristen asal Sulut Ventje Sumual (1923-2010), sebagai tokoh Manado yang turut berjuang ditengah arus perang kepentingan global untuk memporak-porandakan Indonesia. Ventje Sumual bahkan dengan jujur berkata, ia bangga karena mengenal dan bersahabat dengan para tokoh muslim dalam memperjuangkan Indonesia tersebut.
Manado menawarkan diri, tanpa berlebihan, ingin menjadi benang pengikat keindonesiaan dan keislaman, ditengah pertarungan asimetrik dan proxy dewasa ini. Karena dalam catatan Kareel Steenbrink ( _Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia, 1596-1942_), Indonesia walaupun telah merdeka, masih saja terkooptasi pada residu politik kolonial ala Snouck Hurgronje. Bukan hanya Pastor Kareel (2017) sebenarnya, Edward Said, Frantz Fanon, hingga Noam Chomsky, Syed Farid Alatas, hingga Anita Shastri & A. Jateratnam, dalam studi orientalisme dan post-kolonialnya, telah banyak mengingatkan dunia akan hal ini.
Nakh, adalah KAHMI sebagai perhimpunan cendikiawan dan aktivis, tidak berlebihan jika melalui Munas XI di Manado, hadir menawarkan wajah baru Indonesia yang lebih bermartabat.
(Pojok Jarod, 26/02/22).