Keperihatinan Atas Problem Pertambangan di Pohuwato

Rifyan Ridwan Saleh, S.H.,M.H

Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur. Hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati. Begitu bunyi salah satu adagium yang melintas dipikiran saya saat ini tentang polemik tambang di Kabupaten Pohuwato.

Bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bagi saya tafsir tentang ayat ini adalah tentang agar bagaimana sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara.

Penguasaan oleh negara tersebut maksudnya adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar ‘kemakmuran seluruh rakyat Indonesia’. Dengan demikian, baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha, sekalipun memiliki hak atas sebidang tanah di permukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki Minyak dan Gas Bumi yang terkandung dibawahnya.

Spirit dan semangat ini kemudian ditegaskan dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Namun sayangnya setelah hadirnya UU ini justru belum mampu meredam potensi dan/atau konflik tentang pertambangan nasional.

Tentang keadilan; dampak nyatanya tergambar dalam panasnya api yang membakar kantor Bupati Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo (21/9/23). Bagi saya, persitiwa ini adalah puncak dari protes atas ketidakadilan di mata para penambang lokal dan tradisional. Dimana ekspansi kapitalisme telah melampaui ambang batasnya. Hal ini termanifestasi dalam bentuk yang sangat vulgar seperti pesan James C. Scott, 2019. Pada faktanya memang ekploitasi atau “perampasan nilai lebih” dalam istilah Marxis telah mengancam subsistensi rakyat. Ada perampasan tanah dan disaat yang bersamaan rakyat tidak menjadi sasaran negara untuk disejahterakan.

Baca Juga:  Kepala BP2MI, Dianugrahi The Rising Star of Democracy

Konflik tambang di Kabupaten Pohuwato harus menjadi atensi semua pihak. Siapapun dan untuk mempengaruhi apapun yang jika itu dianggap penting dan berkaitan dengan penyelesaian sengketa pertambangan di ‘Bumi Panua – Serambi Madinah. Jika ini selesai, menemukan titik terbaiknya, maka saya meyakini hal ini bisa menjadi ‘yurisprudensi’ (meminjam istilah hukum) dalam penyelesaian konflik pertambangan nasional.

Khusus untuk case di Kabupaten Pohuwato dengan mengingat Pasal 4 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2020 yang mengatakan bahwa penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan undang‑undang ini. Artinya penyelesaiannya harus di Pemerintahan Pusat.

Bagi saya upaya ini bisa dimulai dengan mengkonsolidasi para pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi. Hal ini bisa dimediasi oleh DPR RI, khususnya Komisi VII yang membidangi Energi dan Perindustrian yang mitra kerjanya salah satunya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Maka langkah untuk mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) sudahlah tepat dan ideal.

Baca Juga:  Potensi Dua Putaran, Tiap Capres Punya Basis Militan

Dengarkan dan kumpulkan semua fakta-fakta atau bukti-bukti dari para pihak. Namun karena case pertambangan selalu ‘diintai’ oleh para mafia pertambangan, maka penting untuk meminta DPR RI dari Dapil Provinsi Gorontalo untuk mengawal persoalan ini. Harapannya agar Bapak Elnino M. Husein Mohi (Gerindra), Ibu Idah Syahidah (Golkar) dan khususnya Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan Bapak Rachmat Gobel (Nasdem).

Keikhlasan mereka dalam mengawal dan melaksanakan RDP untuk mendapatkan fakta-fakta dan bukti-bukti melalui Komisi VII DPR RI ini diharapkan bisa menghadirkan solusi yang berkeadilan bagi masyarakat Kabupaten Pohuwato. Dengan catatan semua pihak harus hadir, baik penambang, perusahaan maupun pemerintah terkait.

Selanjutnya adalah memperkuat regulasi oleh negara serta komitmen pemberdayaan dan memakmurkan oleh perusahaan terkait. Maksudnya apa? Negara harus mampu memberikan kepastian hukum terhadap penyelengaraan pengelolaan pertamgangan nasional yang itu harus dirimuskan berasaskan keadilan, kemakmuran, dan ramah lingkungan bukan pada posisinya untuk mempermudah investasi saja.

Baca Juga:  Lanny Ointu Pimpin Upacara Peringatan Sumpah Pemuda di Kantor KPU Sulut

Demikian pula perusahaan, kehadirannya harus taat dan komitmen pada regulasi yang berlaku. Memberikan jaminan ganti rugi yang layak, memberikan jaminan alih profesi yang sepadan dan berkeadilan serta mampu memberdayakan masyarakat lokal baik itu dalam wujud pembangunan infrastruktur daerah, ataupun pembangunan sumber saya manusianya.

Perusahaan juga harus memastikan dan menjaminkan bahwa tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) nya tepat sasaran. Dengan melakukan hal-hal ini secara bertahap dan berkesinambungan saya yakin bahwa perusahaan akan membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Perusahaan kemudian akan dianggap bukan hanya hadir untuk mengeruk sumber daya alam di wilayah masyarakat lokal atau tradisional tersebut tetapi untuk mewujudkan kesejahteraan yang telah menjadi perintah UUD 1945.

Semoga hal catatan atau tulisan singkat saya ini bisa memberi pemantik bagi semua pihak untuk menseriusi dan mempercepat selesainya persoalan pertambangan di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Para pihak kemudian juga bisa merespon ini dengan serius dan penuh tanggungjawab, bismillah. Sekian dan terima kasih.

Penulis: Rifyan Ridwan Saleh, S.H., M.H.
Advokat & Konsultan Hukum RRS Law Firm, dan Presidium Front Pemuda Mahasiswa Gorontalo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *