Oleh : Iman Karim
Di tengah merebaknya pandemi Covid 19, sering kali kita mendengar istilah Salus populi suprema lex.
Ada juga yang menyebutnya Salus populi suprema lex esto atau Salus populi suprema est yang bermakna keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Adagium latin ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam bukunya “De Legibus”. Kemudian, Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karya klasiknya “Leviathan” dan Baruch Spinoza (1632-1677) dalam karyanya “Theological-Political Treatise” menyebutkan terminologi yang serupa.
Selain itu, John Locke (1632-1704 M) juga menggunakan diktum tersebut dalam bukunya “Second Treatise on Government” dengan merujuknya sebagai salah satu prinsip fundamental bagi pemerintah. Cicero pada saat itu membayangkan, di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama, termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum.
Prinsip ini lalu menjadi jangkar dalam pengambilan keputusan selama berabad-abad dalam teori pemerintahan, khususnya di benua Eropa. Menurut Benjamin Straumann dalam bukunya “Crisis and Constitutionalism: Roman Political Though from the Fall of the Republic to the Age of Revolution” (2016), prinsip Cicero tersebut banyak disalah artikan dengan menempatkan tujuan keselamatan rakyat tanpa mengandalkan hukum dan konstitusi.
Namun lebih bergantung pada karakter kebajikan dari mereka yang memiliki kekuasaan. Pandangan inilah yang turut memunculkan konsep raison d’tat atau “alasan negara”. Konsep tersebut berpedoman pada alasan politis murni bagi tindakan pemerintah yang
mendasarkan pada kepentingan nasional, namun seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan.
Inilah yang terjadi sejak masa Niccol Machiavelli (1469-1527) hingga Carl Schmitt (1888-1985), di mana para ahli teori kedaulatan dan keadaan darurat dari Italia dan Jerman abad ke-20 memandang bahwa pada masa krisis atau darurat, instrumen yang menjadi penting bukanlah tatanan hukum dan konstitusi, tetapi keputusan pemimpin.
Akibatnya, tak mengejutkan apabila beberapa negara Eropa mengalami sejarah pahit di bawah kepemimpinan diktator. Penyebabnya, mereka memberikan kekuasaan sangat besar kepada pemimpinnya dengan alasan untuk memudahkan tercapainya tujuan negara yang memilki otoritas dalam pengambilan kebijkan sebagaimana menurut Fukuyama dalam State building : Governance and World order in the 21st century (2004) bahwa negara harus memiliki otoritas dan kapasitas besar dalam menentukan arah kebijakan ekonomi maupun politik.
Dalam setahun terakhir, kita telah hidup pada suatu keadaan yang mungkin tidak pernah kita pikirkan sebelumnya, suatu kondisi dimana Pandemi merubah segala sendi kehidupan manusia, baik sosial politik maupun budaya.
Berdasarkan data terkini sudah ada 219 Juta orang terpapar Covid 19 dan sudah 4,55 juta orang yang meninggal dunia1. Sejauh ini Negara-negara di dunia melawan dengan berbagai kebijakan-kebijakanya masing, banyak negara dengan secara berani memberlakukan Lockdown agar bisa menghentikan penyebaran virus dengan dibarengi.
himbauan agar warganya jangan beraktivitas diluar rumah, baik itu pekerja kantoran bahkan pedagang kecil sekalipun, untuk itu kebijakan-kebijakan berupa stimulus ekonomi untuk memperingan beban ekonomi warganya menghadapi pandemi.
Tidak hanya itu, banyak negara yang melakukan kebijakan yang semi otoriter untuk mendisiplinkan warganya denagan cara menghentikan aktivitas sosial diluar rumah dan memberi sanksi berat bagi warganya yang tidak taat aturan dalam kebijakan inipun tak sedikit perlakuan represif yang dilakukan aparat hukum terhadap warganya.
Meskipun begitu, banyak juga negara yang memberalukan kebijakan New Normal dengan membolehkan warganya untuk beraktifitas diluar rumah tapi dengan syarat harus mematuhi prosedur Covid 19 yakni, menjaga jarak (Psycal Distencing) Memakai masker, dan rajin mencuci tangan.
Bahkan ada juga negara yang sudah membebaskan masker diwilayahnya, misalnya Amerika, Perancis, Italia, Islandia, Yunani dan Korea Selatan yang sudah membebaskan warganya untuk tidak lagi menggunakan masker, keberhasilan negara-negara ini salah satunya melalui kebijakan vaksinasi yang massif.
Berdasdarkan penjelasan diatas, dapat kita lihat bahwa suatu kenormalan baru atau
bahasa kerenya disebut dengan New Normal yang telah kita jalani selama setahun terakhir ini, dimana telah merubah Mindset bahawa kita akan selamanya hidup dalam kondisi seperti ini ternayata hal yang bisa saja keliru. Keberhasilan beberapa negara tersebut seakan membuktikan bahwa New Normal yang sesungguhnya adalah hidup tanpa tekanan dan ketakutan