EXPOSEMEDIA, Jakarta – Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law hingga kini masih menjadi polemic dan mendapat penolakan dari organisasi profesi kesehatan yaitu dari IDI, PDGI, PPNI, IBDI dan IAI. DPR diminta segera mencabut RUU tersebut dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2023. Ribuan tenaga kesehatan (nakes) di beberapa wilayah di Indonesia bahkan telah menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law.
Apalagi yang turun langsung ke jalan untuk menyampaikan aspirasi adalah dokter-dokter dari lima organisasi profesi, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan dokter Gigi Indonesia (PDGI). Omnibus law merupakan penyederhanaan sejumlah regulasi menjadi satu regulasi menyeluruh.
Dengan harapan, urusan pemangku kepentingan—dalam hal ini kesehatan—menjadi lebih mudah: pasien, tenaga kesehatan, apotek, rumah sakit, hingga investor. Di sisi lain, penyederhanaan juga berisiko menghilangkan pasal-pasal penting karena luasnya cakupan dan banyaknya aturan yang harus disinkronisasikan.
Oleh karena itu, sejak pola omnibus diterapkan, kontroversi tidak pernah berhenti. Terkait RUU Kesehatan, setidaknya 15 undang-undang profesi dan kesehatan akan digabung menjadi satu. Polemik terjadi terkait kewenangan organisasi profesi, terutama dalam hal izin praktik, kolegium pendidikan, konsil kedokteran, hingga isu investasi dan tenaga kesehatan asing.
Adapun alasan beberapa dokter, bidan, dan apoteker menolak RUU Kesehatan rupanya dilandasi kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan justru akan melemahkan perlindungan dan kepastian hukum para dokter dan nakes. Ada empat alasan organisasi profesi kesehatan menolak RUU Kesehatan Omnibus Law.
Pertama, pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dinilai sangat tidak transparan dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, tidak ada naskah akademik yang dibicarakan bersama pemangku kepentingan dan masyarakat untuk melihat dasar filosofi, sosiologis, dan yuridis yang bertujuan untuk kebaikan bangsa, sehingga dianggap sarat kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Kedua, RUU Kesehatan Omnibus Law sarat kepentingan atas liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang akan mengorbankan hak kesehatan rakyat selaku konsumen kesehatan. Organisasi profesi kesehatan juga menilai substansi isi rancangan undang-undang berpotensi mengancam perlindungan dan keselamatan masyarakat atas pelayanan yang bermutu, profesional, dan beretika.
Ketiga, adanya gerakan pelemahan terhadap peran profesi kesehatan karena tidak diatur dengan undang-undang tersendiri. Terdapat juga upaya-upaya untuk menghilangkan peran-peran organisasi profesi yang selama ini telah berbakti bagi negara dalam menjaga mutu dan profesionalisme anggota profesi yang semata-mata demi keselamatan dan kepentingan pasien.
Keempat, terdapat upaya-upaya mengabaikan hal-hal yang telah mendapatkan putusan dari Mahkamah Konstitusi seperti Putusan Nomor 14/PPU-XII/2014, Putusan Nomor 82/PPU-XII/2015, dan Putusan Nomor 10/PPU-XV/2017 dan Nomor 80/PPU-XVI/2018.
Persoalan menjadi berlarut-larut karena dari sejak topik RUU Kesehatan omnibus law muncul September 2022, tidak pernah ada titik temu antara pemerintah dan DPR di satu sisi serta organisasi profesi dan kesehatan di sisi lain. Masing-masing menyampaikan aspirasi ke ruang publik, tanpa upaya mediasi untuk saling mendengarkan. Puncaknya adalah demonstrasi damai yang dilakukan 5 OP.
RUU Kesehatan dinilai juga akan mencabut peran organisasi profesi lantaran untuk praktik, bila RUU Kesehatan disahkan, maka nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi. Tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi.
Padahal rekomendasi organisasi profesi akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya. Mengikuti polemik ini terasa sangat memprihatinkan, mengingat profesi tenaga kesehatan beserta infrastrukturnya sangat dibutuhkan rakyat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, total ada 176.110 dokter di seluruh Indonesia tahun 2022.
Jumlah tersebut meliputi dokter gigi, dokter gigi spesialis, dokter umum, dan dokter spesialis. Pada tahun yang sama, jumlah puskesmas mencapai 10.374 unit.
Meski secara matematis jumlah dokter mencukupi untuk mengisi puskesmas di seluruh Indonesia, kenyataannya ratusan puskesmas tidak memiliki dokter dan fasilitasnya terbatas. Dokter dan tenaga kesehatan, klinik, rumah sakit, dan apotek banyak terdapat di kota-kota besar di Pulau Jawa.
Tidak mengherankan, masalah kesehatan yang seharusnya bisa diselesaikan di layanan kesehatan primer masih tinggi kasusnya di Indonesia. Sebutlah tengkes, demam berdarah, malaria, juga angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Tentu ini tidak semata-mata urusan Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi, ada juga faktor kepemimpinan di daerah. Namun, sebaiknya polemik segera diselesaikan.
Terkait polemik tersebut, Bidang Kesehatan DPP KNPI melakukan diskusi pada hari rabu tanggal 14 Juni 2023 di Tebet Jakarta selatan secara Hybrid, dengan di Hadiri Ketum DPP KNPI Haris Pertama, Ketum PB IDI Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, DPP PNI (Kabid Pemberdayaan Politik DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia) Oman Fathurrohman, drg. Paulus Januar (Biro Hukum dan Kerjasama PB Persatuan Dokter Gigi Indonesia).
Muhammad Joni., SH, MH (Ketua Umum Masyarakat Konstitusi Indonesia), Agung Nugroho (Ketua Umum Relawan Kesehatan Indonesia), PP ikatan Apoteker Indonesia, PP Ikatan Bidan Indonesia, sekaligus menjadi pembicara, hadir menjadi penanggap Beberapa OKP Nasional Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam Indonesia.
PP Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, PP Keesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Bakornas LKMI, DPP Ikatan Mahasiswa Teknologi Laboratutium Medik Indonesia, Perhimpunan Dokter Herbal Indoneia, DPP Persatuan Ahli Tekhnologi Laboraturium Medik Indonesia hadir secara offline dan via zoom 200 orang.
Dalam Diskusi yang berlangsung DPP KNPI beserta perwakilan pembicara dan peserta menyayangkan Ketidak hadiran Komisi IX dan perwakilan pemerintah dalam diskusi tersebut, beberapa point penting di sampaikan dan menjadi masukan bagi Pemerintah dan DPR RI sebelum mengesahkan RUU Kesehatan Omnibus Law.
Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama memandang RUU ini berpotensi menghilangkan Peran dan Wadah Organisasi Profesi Kesehatan yang selama ini sudah banyak membantu Pemerintah, terutama dalam menghadapi Covid-19, 700 tenaga kesehatan menjadi korban pada masa pandemi karena menjadi garda terdepan.
Keberadaan Organisasi Profesi kesehatan dan lain-lain, merupakan produk reformasi yang dimana merupakan mitra Pemerintah sekaligus menjadi Civil Society dalam bidang terkait, di setiap kebijakan dan regulasi yang di ambil pemerintah serta DPR, minimnya keterlibatan serta masukan Wadah Organisasi Kesehatan terkait dalam penyusunan RUU Kesehatan Omnibus Law mengakibatkan penolakan Tenaga kesehatan atas RUU tersebut.
Sikap Pemerintah dalam RUU kesehatan selain adanya pasal yang tidak sesuai kepentingan Masyarakat dan merugikan Hak-Hak Tenaga Kesehtan, juga menghilangkan Peran Organisasi Profesi, hal ini lazim terjadi pada era Rezim sekarang, pembelahan dan penghapusan banyak Wadah Organisasi di era ini terburuk setelah reformasi yang memberikan kebebasan dalam berorganisasi dan berserikat, bahkan lebih buruk dari Orde Baru yang hanya menerapkan Asas Tunggal.
Ketua Umum PB IDI dr. Adhib Khumaidi menyampaikan bahwa RUU Kesehatan banyak merugikan Hak-Hak Tenaga Kesehatan, mereka sebagai stakeholder tidak di libatkan dalam penyusunan RUU Tersebut, sehingga Penyusunan RUU ini bersifat esklusif, berdasarkan kepentingan para Oligarki kesehatan, dampaknya merugikan masyarakat dan dunia kesehatan Indonesia, RUU ini sangat Sentralistik padahal kita sudah di era desentralisasi ungkapnya. Di mudahkannya keterlibatan Teanaga Kesehatan Asing ke depan di sektor kesehatan Indonesia justru berbalik dengan iklim berbagai Negara di dunia yang sangat memberatkan keterlibatan Tenaga Kesehatan Asing di negara mereka.
Ketua MKI, Jhony mengungkapkan RUU ini cacat hukum, di MK keseluruhan UU Omnibus Law sudah dinyatakan cacat hukum bersyarat, kita sudah menang 3 kali di Sidang MK terkait UU Omnibus Law ini, sehingga kita sekarang berjalan dengan PERPU, dan di kembalikan ke DPR RI dengan tidak banyak perubahan dan minimnya keterlibatan Perwakilan masyarakat Indonesia, seperti dunia kampus dan organisasi – organisasi terakait.
Ketua Umum REKAN Agung Nugroho menyampaikan RUU Kesehatan ini sejak awal diajukan banyak terdapat kontroversi, namun DPR dan pemerintah tetap memaksakan agar RUU ini bisa menjadi UU.
Ditengah kita berhadapan dengan rezim bergaya kerajaan dan lebih mirip dengan gaya kepemimpinan Raja Amangkurat, dimana semua pihak yang menghalangi keinginan sang raja akan ditumpas kelor.
Sehingga patut kita curigai bahwa kepentingan dari RUU Kesehatan yang merupakan bagian dari UU OB ini adalah demi memfasilitasi kepentingan pemodal yang berniat mengeruk keuntungan dari bisnis Kesehatan di Indonesia. Mulai dari jasa nakes, alkes, farmasi, dan lain-lain.
Untuk mencapai tujuannya, RUU Kesehatan ini harus mempreteli benteng kedaulatan, dan ketahanan Kesehatan dengan berupaya menghapus semua organisasi profesi yang terkait kesehatan.
Jelas yang dirugikan adalah rakyat Indonesia dimana jika UU ini disahkan dan dijalankan maka perlindungan rakyat terhadap hak pelayanan kesehatan dan hak jaminan kesehatannya akan hilang. Mengingat semangat dari UU OB itu adalah sentralisasi kontrol dan pengawasan hanya ditangan pemerintah. (*/Redaksi)