PANCASILA merupakan pandangan hidup dan karakter bangsa Indonesia yang kebanyakan orang menganggap sudah final, karena dirumuskan dan dirancang sedemikian rupa guna menghasilkan point-point kenegaraan yang mendasar dan mencakup seluruh lapisan elemen.
Nnamun akhir-akhir ini, penulis diganggu oleh pernyataan seorang yang di anggap sebagian publik adalah “filosof”, mengatakan di salah satu stasiun televisi, yaitu; “Ketuhanan itu Keberadaban”, dan ini tentu bukan lagi soal menyinggung pancasila, tapi masuk dalam rangka merubah substansi pancasila itu sendiri. Terkait hal tersebut, penulis akan mencoba menanggapi dan memaparkan argumen-argumen bantahan, diantaranya:
1. KEKELIRUAN MEN-SINONIMKAN KATA
Sebelum masuk kepada substansi bantahan, penulis akan sedikit memberikan penjelasan secara rasional terkait Ketuhanan dan Keberadaban. Ketuhanan bagi penulis adalah dasar kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam beragama atau mempercayai dan tidak menafikan keberadaan Tuhan itu sendiri, sedangkan Keberadaban adalah suatu konsep yang diciptakan oleh manusia untuk menghukumi orang-orang yang memiliki sifat yang baik, berlaku sopan dan telah maju kasta kehidupan materi dan nonmaterinya. Tapi pada fakta argumen yang katanya “filosof’ itu justeru menyamakan kata Ketuhanan dan Kebaradaban itu sendiri dengan tolak ukur ke-subyektivitasannya juga, tanpa menerangkan hal-hal dasar apa yang membedakan, tentu ini adalah suatu logika falacy dari rangkaian diksi yang dikatakannya bahkan terlihat seolah-olah memfinalkan kesamaan kata tersebut tanpa menunjukan sumber-sumber ilmiahnya.
2. KEKELIRUAN ME-EKUIVALENKAN MAKNA
Selain memadankan atau menyetarakan kata, dia justeru mendudukan makna dari Ketuhanan dan Keberadaban itu sama, tidak memiliki perbedaan atau karakteristik, pandangan penulis, ini fatal karena bagaimana mungkin Tuhan dapat di sifati dengan sifat manusia, sedangkan sifat beradab adalah label yang di buat oleh manusia sendiri guna mengukur sikap dan prilaku. Berbicara tentang Ketuhanan maka berkaitan erat dengan agama, dan agama membuat lembaga melalui menusia untuk menentukan penilaian terhadap sikap kemanusiaan, dan kaitannya dengan Tuhan adalah bahwa Tuhan itu yang menciptakan agama, jadi tidak elok jika di sematkan kepada Tuhan kata ‘beradab’ itu, jika disematkan kepada Tuhan maka boleh jadi suatu saat Tuhan tidak beradab, karena ketika disematkan beradab, pada saat itulah sikap Tuhan menjadi baik, sedangkan sebelum di labeli beradab, maka saat itu juga sikap.
Tuhan tidak baik. Ini ekuivalen yang tidak serasi bahkan tidak pantas di lekatkan kepada Tuhan, karena Tuhan itu sendiri pencipta maka sudah pasti beradab, tidak mungkin Tuhan menciptakan yang sia-sia, dan jika menciptakan yang sia-sia berarti kita mampu mengaudit Tuhan, dan mengatakan bahwa Tuhan tidak beradab, maka dari itu karena Tuhan merupakan derajat tertinggi yang tidak pantas dilekatkan penilaian-penilaian yang seharusnya untuk mengukur moral manusia.
3. POINT-POINT PANCASILA TIDAK DIKAITKAN SECARA KESELURUHAN
Kekeliruan selanjudnya, yakni yang memberikan pernyataan “Ketuhanan itu Keberadaban” tidak serta merta membaca dan mengaitkan keseluruhan point-point Pancasila tersebut, dia hanya fokus pada kata itu sehingga menghilangkan substansi dengan cara menggiring opini agar sama-sama menyepakati dua kata yang menurutnya pantas untuk dipadankan, ini kesalahan besar, karna masyarakat Indonesia tau bahwa Pancasila ini adalah pedoman yang terpenting dalam hidup berbangsa dan bernegara, jadi tafsir-tafsir dari masing-masing point saling berkaitan; berkaitan bukan berarti sama, tetapi pada point kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab maksudnya adalah refleksi dari fokus berTuhan (sesuai agama masing-masing) maka, akan melahirkan kemanusiaan yang adil dan beradab, karena pada dasarnya manusia itu baik jika hidup dalam kesadaran bukan keterlanjuran. (***)