Penulis Iman Karim
(Peserta LKIII HMI BADKO RIAU-KEPRI, Asal BADKO SULUT-GO)
Free Trade Zone (FTZ) juga dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan dengan batas-batas fisik yang jelas sehingga berakses terbatas di dalam wilayah atau suatu negara, yang terkecuali dari peraturan pabean setempat dan fungsi sebagai sarana perdagangan bebas, bongkar muat, dan penyimpanan barang, serta manufacturing dengan atau tanpa pagar pembatas, dengan akses terbatas yang di jaga petugas bea dan cukai.
Kawasan Perdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau Free Trade Zone (FTZ) dapat didefinisikan sebagai suatu konsep ekonomi dimana lalu lintas transaksi perdagangan antar bangsa dilakukan secara bebas tanpa hambatan, tidak lagi dibatasi dan dibebani dengan yang disebut dinding tarif, bea masuk, sistem kuota maupun prosedur pabean yang rumit dan berbelit-belit. Perdagangan bebas juga bisa diartikan sebagai perdagangan internasional yang bebas dari campur tangan pemerintah pusat maupunbirokrasi setempat.
Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau Free Trade Zone (FTZ) adalah kawasan tertentu dimana diberlakukan ketentuan khusus di bidang kepabeanan, perpejakan, perizinan, keimigrasian, dan ketenagakerjaan (PP No.48 Tahun 2007). Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Free Trade Zone ialah suatu wilayah yang luas tanpa pembatas yang jelas (pagar) yang di dalamnya terdapat wilayah-wilayah tertentu untuk kegiatan perekonomian. Batas Wilayah dan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Pengaturan Free Trade Zone dilakukan oleh Undang-undang No. 44 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ).
Dalam pandangan islam sendiri, perdagangan bebas diperbolehkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan aktivitas perdagangan ini. Selanjutnya, hal ini diperkuat dengan salah satu sejarah dalam peradaban islam, yaitu perdagangan Qurais, Al-Qur’an mengabadikan aktivitas perdagangan mereka dalam surat Quraisy. Pada zaman itu, mereka melakukan perdagangan ke negeri yaman saat musim dingin dan perdagangan ke negeri syam saat musim panas.
Setiap seorang muslim diperintahkan Allah SWT untuk mencari rezeki di belahan bumi mana pun. Hal ini tercantum pada surat Q.S. Al-Fushilat ayat 10 yang artinya “Dan Dia ciptakan padanya gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dan kemudian Dia berkahi, dan Dia tentukan makanan-makanan (bagi penghuni)nya dalam empat masa, memadai untuk (memenuhi kebutuhan) mereka yang memerlukannya”. Inti dari surat tersebut adalah Allah telah menetapkan kadar rezeki yang cukup di belahan bumi mana pun. Tidak ada larangan bagi setiap orang untuk memanfaatkan setiap sumber daya yang berada di negara mana pun asalkan pemanfaatan tersebut berdasarkan kesepakatan antar negara.
Saat ini Indonesia memasuki Bonus Demografi yang dimana Bonus Demografi ini akan menjadi suatu manfaat yang yang bagus jika di korelasikan dengan baik untuk menghadapi Free Trade Zone atau Kawasan Perdagangan Bebas, menyimak data “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035” oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United Nations Population Fund (UNPF) tahun 2013, dalam rentang waktu tersebut komposisi penduduk produktif Indonesia mencapai level tertinggi melebihi populasi non-produktif alias bonus demografi.
Bonus demografi adalah ‘bonus’ yang dapat dinikmati sebuah negara ketika komposisi/proporsi penduduk usia produktif alias usia kerja (15-64 tahun) lebih besar dibanding proporsi penduduk usia tidak/kurang produktif, yakni 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2035 populasi Indonesia mencapai 305,6 juta jiwa! Sedangkan jumlah penduduk usia produktif sebesar 213,92 juta jiwa (70 persen) berbanding 91,68 juta jiwa (30 persen). Di satu sisi, bonus demografi akan menjadi modal besar bagi NKRI apabila kualitas sumber daya manusianya tinggi sehingga memiliki daya saing di era pasar bebas nanti. Selain itu, bonus demografi itu juga akan mampu mempercepat peningkatan produksi negara yang sekaligus mampu melepaskan diri dari keterjebakan sindrome negara berkembang.
Hukum ekonomi pun berlaku dalam ranah kependudukan sektor tenaga kerja: penawaran lapangan kerja melebihi permintaan akan tenaga kerja, maka harga nilai jual (standar penyaringan karyawan) akan semakin melambung. Terlibas sudah para pemuda putra dan putri pencari kerja yang hanya memiliki sedikit keterampilan. Mau tidak mau, mereka yang mempunyai keahlian lebih dan memadai yang akan terserap ke lapangan pekerjaan. Lebih-lebih untuk para tamatan bukan sarjana, akan semakin tersingkir dari arena ketatnya persaingan kerja.
Ketidakterserapnya usia produktif ini disektor produktif, tentunya akan berpotensi menjadikan Indonesia bagaikan keran air, semua bentuk produk luar mengalir deras ke negara ini tanpa saringan. Peluang bonus demografi yang terdapat di masa depan pun akan menjadi pusaran bencana dan menjadikan Indonesia penonton dan objek pasif semata berjuluk konsumen saat penerapan perdagangan bebas berlaku.
Permasalahan pembangunan sumber daya manusia inilah yang harusnya bisa diselesaikan dari sekarang, jelang penerapan perdagangan bebas dan jauh sebelum bonus demografi datang. Dalam hal ini jangan sampai hal yang menjadi berkah justru membawa bencana dan membebani negara karena masalah yang mendasar: kualitas manusia! Maka dalam hal ini, dalam hal ini, perlu komitmen serius pemerintah.
Pemerintah harus mampu menjadi agent of development dengan cara memperbaiki mutu modal manusia, mulai dari pendidikan, kesehatan, kemampuan komunikasi, serta penguasaan teknologi. Solusi lainnya bisa dengan memberikan keterampilan kepada tenaga kerja produktif sehingga pekerja tidak hanya bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan tapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan itu sendiri.
Selain itu pemerintah juga harus mampu menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan, menjaga aset-aset Negara agar tidak banyak dikuasai pihak asing yang pastinya akan merugikan dari sisi peluang kerja.
Seluruh kebijakan pembangunan nasional harus bersinergi dan diarahkan secara konstruktif.
Pemerintah harus mampu membangun SDM secara komprehensif dan berjalan konsisten serta harus dibentuk kualitasnya sejak sekarang. Sehingga Indonesia tidak hanya menyaksikan saja tetapi menjadi pemain utamanya pada penerapan AFTA dan AEC nanti, karena kita memiliki modal besar bernama bonus demografi yang dibarengi SDM berkualitas. (***)