Perdagangan internasional menjadi suatu acuan penting dalam mendongkrak ekonomi dalam negeri baik di Negara maju dan Negara berkembang, dan dapat dikatakan pula setiap Negara di abad 21 ini harus memiliki pola kerjasamanya masing-masing dalam bidang kerjasama ekonomi agar tercapainya keuntungan dari integrasi ekonomi abad 21 ini sesuai dengan interest masing-masing Negara sehingga dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri.
Tidak terkecuali perdagangan antara Amerika Serikat dan China, yang dimana dua negara adidaya ini yang sedang menguasai sektor Perdagangan Internasional. Namun belakangan ini, Amerika Serikat dan China terlibat perang sejak 2018 lalu. Perang dagang bermula karena Trump kesal dengan neraca perdagangan negaranya yang selalu tercatat defisit dengan China. Untuk itu, ia memilih langkah proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangan AS.
Trump memutuskan untuk menaikkan bea masuk impor panel surya dan mesin cuci yang masing-masing menjadi 30 persen dan 20 persen. Sejak saat itu, tepatnya 22 Januari 2018, perang dagang pun dimulai. Kemudian, Trump juga mengenakan tarif bea masuk untuk baja sebesar 25 persen dan 10 persen untuk aluminium. Kebijakan ini diputuskan pada Maret 2018. Tak tinggal diam, China ikut menaikkan tarif produk daging babi dan skrap aluminium mencapai 25 persen dan Beijing memberlakukan tarif 15 persen untuk 120 komoditas AS. Komoditas itu, seperti almond dan apel.
China juga mengadu kepada WTO tentang tarif impor baja dan aluminium. Keluhan ini disampaikan China kepada WTO pada April 2018. Setelah itu, Departemen Perdagangan AS mengeluarkan kebijakan baru yang melarang perusahaan telekomunikasi China untuk membeli komponen AS selama tujuh tahun. Dengan berbagai kebijakan ini, China dan AS pun akhirnya mengadakan pertemuan untuk membicarakan perang dagang ini di Beijing pada Mei 2018.
Bagaimanapun Indonesia memerlukan kerja sama dengan kedua negara. Ketegangan hubungan AS – China akan berdampak signifikan pada kerja sama multilateral. Indonesia yang mengandalkan kerja sama multilateral untuk mencapai tujuannya sudah pasti akan terpengaruh, sebab baik China maupun AS akan mengandalkan pada kerja sama bilateral.
Regionalisme ekonomi seperti Belt and Road Initiative (BRI), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) ataupun Indo-Pasifik akan menyulitkan Indonesia dalam menentukan pilihan, mengingat baik China maupun AS merupakan mitra ekonomi utama Indonesia. Kedua negara merupakan tujuan ekspor dan investasi utama Indonesia. Rantai pasok Indonesia, dan ASEAN, sangat tergantung pada hak paten yang dimiliki perusahaan AS, sementara dari China banyak mengimpor produk setengah jadi. Selama bertahun-tahun, Indonesia telah mendapat manfaat dari sistem perdagangan yang terbuka dan berdasarkan pada regulasi.
Presiden Joko Widodo telah 10 menyatakan keprihatinan tentang perang tarif yang dilakukan Trump dan telah menyerukan koordinasi kebijakan dan pendekatan multilateral untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan. Indonesia melihat, kerja sama dan kolaborasi sebagai pilihan terbaik, daripada persaingan dan kompetisi zero-sum games.
Dalam perspektif Indonesia, dekade peningkatan kerja sama multilateral berbasis globalisasi telah memberikan dampak positif pada perdagangan dan investasi, termasuk untuk memastikan semua pihak berbagi tanggung jawab. Gangguan dan guncangan yang diciptakan oleh ketegangan hubungan AS-China telah menggagalkan kepercayaan dunia atas apa yang selama ini dipraktikkan sebagai sistem perdagangan global.
Banyak orang memang meragukan jika perang dagang yang diterapkan oleh Trump akan menjadi solusi atas ketidakseimbangan perdagangan. Justru sebaliknya, banyak yang mempercayai jika ketegangan hubungan AS-China pada akhirnya hanya akan melemahkan ekonomi kedua negara dan merusak multilateralisme. Indonesia sudah merasakan dampak ketegangan hubungan AS-China ketika Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, kesulitan mencari investor untuk pengelolaan rare earth yang bisa menjadi bahan baku senjata.
Saat ini investor yang sudah siap adalah China, namun dengan alasan menjaga iklim investasi di Indonesia, Luhut enggan menyerahkan kepada China. Salah satu pekerjaan berat yang harus dilakukan Indonesia adalah melepaskan diri dari ketergantungan terhadap China. Sudah saatnya Indonesia memikirkan kemungkinan berubahnya konstelasi politik dunia yang akan mempengaruhi daya saing perekonomian China. [**]