EXPOSEMEDIA, Jakarta – Selain memprioritaskan kepentingan daerah, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) juga mendorong lahirnya Undang-undang (UU) Pembuktian Terbalik atas harta kekayaan pejabat negara. Hal tersebut seperti disampaikan Wakil Ketua Umum (Waketum) Organisasi Keanggotaan Kaderisasi (OKK) DPP Partai Hanura, Benny Rhamdani.
“Sudah sejak lama saya suarakan ini. Bahwa perlu didorong lahirnya Undang-undang pembuktian terbalik atas harta kekayaan milik pejabat publik. Kehadiran Undang-undang tersebut dimaksudkan mencegah sejak dini perilaku korupsi. Publik bisa mengetahui gaji pejabat publik, pengawasan lebih transparan. Apalagi, gaji pejabat itu diatur oleh Undang-undang,” kata Benny, Jumat, (10/3/2023).
Tidak sedikit kasus ketidaksesuaian gaji pejabat negara. Itu sebabnya, Benny mengatakan pentingnya melahirkan UU Pembuktian Terbalik terhadap harta kekayaan milik pejabat negara. Termasuk Benny menyebut kasus yang santer dibicarakan dan melibatkan mantan Pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo, kecolongan karena Indonesia belum punya UU seperti yang disampaikan. UU Pembuktian Terbalik akan menjadi semacam alat deteksi dini, alarm, atau portal.
“Banyak ditemukan ketidaksesuaian harta kekayaan pejabat dari apa yang didapatkannya (gaji dan tunjangan) tiap bulannya. Situasi ini dapat kita potret dari pusat hingga daerah, fenomena ini relevan dengan apa yang sering kita dorong pentingnya Undang-undang Pembuktian Terbalik. Ini tidak hanya berlaku atau memeriksa mereka yang harus melakukan dugaan pencucian uang, korupsi atau kasus suap, ngga perlu. Jadi seseorang atau pejabat negara yang memiliki kekayaan tidak sebanding dengan hak yang harus didapatkan tiap bulannya sesuai Undang-undang yang ada, maka bisa Lembaga yang ditunjuk, apakah KPK untuk melakukan investigasi. Karena gaji kepala daerah atau pejabat publik diketahui publik, bisa diakses publik melalui website,” tutur Benny, saat diwawancarai wartawan di Jakarta.
Di sisi lain, politisi senior yang juga mantan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) 3 periode dan Ketua Komite I DPD RI periode 2014-2019 ini memberikan batasan, bagi pejabat negara yang sebelum memangku jabatan dan telah memiliki harta kekayaan melimpah, tidak perlu dicurigai. Benny menilai ketika Undang-undang tersebut lahir, dengan begitu praktek pemberantasan korupsi makin terkanalisasi, dan mudah diantisipasi adanya tindakan korupsi.
“Lain halnya jika pejabat tersebut sudah kaya sebelum ia menjabat. Regulasi ini dapat menjadi solusi atas adanya fenomena gunung es, dimana satu persatu harta kekayaan pejabat publik mulai diungkap. Setelah heboh atau viral baru kita usut, mestinya sejak awal bisa dideteksi. Maka, kehadiran Undang-undang ini akan menjadi solusinya,” kata Waketum OKK DPP Partai Hanura ini tegas.
Bahkan tak hanya itu, Benny punya ide “gila” terkait proses akuntabilitas publik. Yakni melalui digandakannya laporan harta kekayaan pejabat di tempat-tempat seperti Balai Desa, kantor Kelurahan, atau papan informasi di Desa atau Kecamatan yang mudah diakses masyarakat. Benny pernah mengusulkan agar tiap pejabat publik (negara), memberikan laporan secara periodik ke masyarakat. Cara tersebut dinilai ampuh dalam pelibatan pengawasan publik terhadap kekayaan pejabat.
“Kalau mau transparan ya harus dilakukan. Foto copy perbanyak laporan harta kekayaan kita sebagai pejabat publik. Lalu ditempelkan di tempat umum, atau dibagikan ke masyarakat. Itu ide ekstrem, yang pernah saya sampaikan sejak menjadi Anggota DPD RI. Ketika ada pergerakan peningkatan aset (kekayaan) drastis, dan mencurigakan dari pejabat tertentu, publik dapat mengetahuinya. Sistem kendali melalui pengawasan lapangan lebih mudah dilakukan masyarakat. Pendekatan ini juga turut mendorong lahirnya partisipasi publik. Masyarakat jadi makin percaya bahwa wakil rakyat, mulai dari Kepala Dinas, Kepala Daerah, hingga Kepala Badan, Menteri, dan pimpinan eksekutif tingkat di atasnya benar-benar amanah. Tidak korupsi,” tutur Benny menutup. (*/Amas)