Terjun di Politik, Perempuan Harus Ciptakan Kaderisasi Kepemimpinan

Perempuan dalam Kesetaraan Politik, Menyongsong Pemilu 2024

Oleh : Selvia Wisuda, S.H.,M.H, Anggota Bidang KSDA, DPP KNPI

Ada hal yang harus dikoreksi dan dibenahi dalam praktek berpolitik perempuan di Republik Indonesia (RI) tercinta. Hal yang paling nampak ialah kaderisasi di panggung politik bagi politisi perempuan. Kepemimpinan politik perempuan rasanya mengalami hambatan. Atau minim mendapat perhatian.

Perempuan seolah lebih apatis, mengabaikan kaderisasi dan regenerasi politik. Dibanding politisi laki-laki masih ada perbedaannya. Politisi laki-laki masih care, punya gambaran besar soal warisan regenerasi politik. Sehingga stok kepemimpinan politik laki-laki banyak. Tidak ada krisis.

Dilain pihak. Kerap kita temui dalam ruang interaksi wacana, perempuan dan laki-laki seperti dihadapkan dalam ruang kompetisi. Dibenturkan pada kepentingan sempit. Dimana laki-laki ditempatkan superior. Lalu perempuan hanya sebagai subordinat, atau dalam eksistensi yang inferior.

Itulah yang disebut bangunan paradigma yang curang. Tidak berimbang. Tidak adil. Dan cenderung mengeksploitasi, merugikan perempuan. Kepincangan, kekeliruan semacam itu yang harus direposisi. Bahwa perempuan dan laki-laki dalam ruang interaksi sosial, adalah equal ‘’setara’’.

Tidak boleh ada dikotomi peran. Termasuk dalam praktek politik. Menatap tahun politik 2024, penting perempuan mengevaluasi peran pentingnya. Dimana perempuan tidak sekedar menjadi pelengkap dalam ruang politik praktis. Perempuan itu subyek bukan obyek politik, engan embel-embel istilah representasi. Biarlah ruang kompetisi dan kolaborasi diberikan berimbang.

Jikalau isu gender mau diperjuangkan. Yang pertama dibenahi yaitu siklusi kaderisasi partai politik. Tak boleh lagi parpol seolah-olah memperkecil, atau malah mengabaikan peran perempuan. Dalam sisi struktur kepengurusan parpol, perempuan diberi posisi yang adil. Reposisi paradigma harus dimulai.

Keberadaan perempuan sebagai elemen penting dalam membangun peradaban, penting mendapat apresiasi peran yang memadai di ruang-ruang publik. Perempuan layak diberi kesempatan seperti laki-laki dalam kancah politik. Dimana semua orang akan memantaskan dirinya agar siap menjalankan amanah legitimasi politik rakyat.

Pentingnya keterlibatan perempuan dalam capaian tujuan pembangunan berkelanjutan, tanpa harus dikonotasikan perlu ‘’perhatian khusus’’. Biar saja perempuan dalam kehidupan politik tanpa topangan ambang batas, yang membuat beda perempuan dan laki-laki. Yang utama itu sikap adil dalam politik. Dengan sikap adil, jujur, transparan, maka perempuan berpotensi jumlahnya fifty-fifty dengan laki-laki di parlemen. Atau bahkan lebih.

Menengok kondisi keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2019-2024 yang mencapai 118 dari total jumlah anggota DPR RI 575 atau 20,4 persen. Angka tersebut jangan membuat perempuan berpuas hati. Dimana semangat demokrasi melahirkan kesamaan, merang diskriminasi dan praktek yang memicu disparitas.

Dalam pentas dan panggung politik pun begitu, jangan lagi dibiarkan adanya disparitas politik. Perempuan, laki-laki seperti dibenturkan dalam perannya. Idealnya, dipadukan ditarik relasi kekuatan untuk menghadirkan kolaborasi kerja yang baik demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Demi kebaikan bersama.

Kenapa harus ‘’dibatasi’’ porsi dan peluang perempuan di DPR?, atau dalam diksi politik keterwakilan. Hal yang demiki malah mendowngrade posisi politik perempuan. Padahal, perempuan atas kemampuan, keterampilan, dan kepiawaiannya mengantar perempuan bisa lebih banyak di parlemen.

Kran demokrasi terbuka, dan tidak ada aturan melarang perempuan harus melewati jumlah atau menyamai jumlah laki-laki di parlemen (DPR). Ambang batas keterwakilan perempuan 20 persen dalam ruang berpolitik, seperti membawa kesan perempuan menjadi lemah. Yang utama itu keadilan dijalankan.

Baik di parpol, distribusi peran, pemberian kesempatan, dan saling menghormati posisi dalam praktek politik. Bukan soal apresiasi yang melahirkan sikap ‘’lemah’’. Sikap yang dapat dipersepsikan buruk, merenbdahkan sumber daya kaum perempuan. Dalam ruang politik, perempuan dan laki-laki sama saja.

Belum tentu laki-laki lebih hebat, lebih punya skill, lebih berintegraitas dari perempuan. Artinya perempuan tidak butuh disubsidi atau bonus penghormatan yang tidak substansial. Yang dituntut dan diperjuangkan perempuan ialah sikap tidak adil. Rakus atau monopoli yang dilakukan siapapun, baik penguasa, pemimpin parpol, serta siapa saja. Itu yang menjadi objek kritik perempuan. Karena hal itu melahirkan ketimpangan. Melahirkan kemiskinan di negara ini kian merajalela.

Untuk menyiapkan dirinya, perempuan secara internal perlu membangun tradisi literasi politik. Membangun kesadaran dan kualitas diri pribadi. Sehingga politisi perempuan menjadi peka terhadap isu-isu yang mendiskreditkan perempuan. Lahirlah para politisi perempuan yang matang dan populis.

Upaya merawat akal sehat politisi perempuan juga secara otomatis mengangkat derajat perempuan dalam ruang kontestasi sosial. Dari percakapan yang negatif, digeser ke percakapan yang positif dan produktif, membuat kehidupan politik di negara ini akan makin humanis, bermoral.

Dengan begitu kehadiran perempuan dalam panggung politik memberi makna, menambah nilai bagi demokrasi kita. Perempuan saling menginspirasi untuk berfikir inklusif, tidak mau disudutkan dengan anggapan kerdil yang merugikan posisi politik perempuan. Perempuan tampil dengan kepercayaan diri penuh.

Mengedepankan integritas dan pengalaman diri yang tumpah ruah. Aktivitas tersebut selain memberi sumbangsi pada demokrasi, perempuan juga telah membebaskan dirinya dari pola perbudakan ‘’kecongkakan’’ oknum yang menilai perempuan selalu lemah. Tidak memiliki power. Stok kepemimpinan perempuan juga makin bertambah.

Menyongsong Pemilu 2024, rasanya hal-hal positif di atas perlu dibangun. Secara kolektif. Kemudian, kesadaran menegakan aturan, membuang jauh cara pandang meremehkan perempuan dalam percaturan politik haruslah dilakukan. Perempuan tampil menunjukkan kualitas, kebolehan.
Bukan hanya mengandalkan paras wajah cantik. Namun minim pengetahuan dan pengalaman. Karena usaha merubah image tidak mudah. Semua membutuhkan kesungguhan, dan pembuktian. Perempuan memulai transformasi dari dirinya. Lalu berekspansi ke wilayah-wilayah publik.

Pemilu dan Pilpres 2024 harus memberi ruang proporsional kepada perempuan. Capres perempuan, Caleg perempuan, dan calon Kepala Daerah perempuan harus tampil. Perempuan bukan lagi pelengkap dalam percaturan politik. Tapi, menjadi aktor politik penting yang akan memajukan Indonesia. Politisi perempuan hadir dengan menampilkan moralitas, etika, intelektualitas, dan integritas. Punya etos kerja yang tinggi, care pada problem rakyat. Berani berpihak pada kepentingan rakyat.

Baca Juga:  Ketum DPP KNPI: Copot Silmy dari Jabatan Dirjen Imigrasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *