Oleh : Nuryaman Berry Hariyanto
LAGI lagi gaduh, lagi-lagi kontra konstitusi. Atau jangan-jangan, apa yang mereka lakukan lebih tepat disebut anarko sindikalis politik yang coba menyiasati produk demokrasi demi sebuah hidden agenda atau pesanan sang bohir?
Karena tanpa berpedoman pada konsistensi konstitusi dan meniadakan keputusan yang telah disepakati bersama di forum parlemen, tiba-tiba bak kelompok paduan suara bernada sumbang, di waktu yang hampir bersamaan muncul suara-suara tentang opini ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT) dari 20 persen, minta diubah menjadi 0 persen.
Pertanyaannya, senaif itukah kelompok “paduan suara” penjaja dan pengasong PT 0 Persen ini berani memunculkan opininya?
Apakah mereka tidak malu dengan menunjukkan kelemahan mereka sendiri karena tidak berani bertarung secara gentlemen sesuai klausul yang sudah disepakati bersama?
Atau, mereka memang sengaja memunculkan isu itu untuk mengejar setoran atas pesanan bohir-bohir yang masih bersembunyi di balik layar?
Adalah kelompok Ferry Juliantono, Jumhur Hidayat, dan Refly Harun Cs yang menamakan diri Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia, dengan lantang dan gamblang serta tanpa malu-malu menyatakan ambang batas PT harus 0 persen. Beragam argumentasi mereka lontarkan. Bahkan, mereka berani mengatasnamakan demokrasi. Padahal kita tahu bahwa ujung-ujungnya ada kepentingan politik yang bermain.
Tidak cukup sekadar menyatakan sikap, Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia juga menarik-narik lembaga negara, dalam hal ini DPD RI. Mereka bertemu sejumlah anggota DPD RI di Ruang Delegasi DPD RI Lantai VIII Gedung Nusantara III Komplek Parlemen, Senayan, Senin (6/12/2021).
Dalam pertemuan itu, Ferry Juliantono menyatakan, “PT 0 persen adalah sesuatu yang harus kita dukung bersama agar demokrasi kita tidak disabotase oleh oligarki atau kaum yang punya uang.”
Uniknya, DPD RI ikut memberikan pernyataan senada dengan meminta PT sebesar 0 persen. Wakil Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI, Fahira Idris, menyatakan dukungannya di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (8/12/2021).
“Kami Kelompok DPD di MPR akan mendorong judicial review terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ucap Fahira.
Seirama dengan itu, muncul Gatot Nurmantyo yang memberikan pernyataan “Setali Tiga Uang”. Bahkan, Gatot menggugat syarat ambang batas pencapresan 20 persen ke MK. Gatot berharap PT menjadi 0 persen. Dan Gatot memberikan kuasa ke Refly Harun.
Kalau yang satu ini jelas ada udang di balik batu. Semua juga tahu, seorang Gatot Nurmantyo memang sudah “ngebet” untuk bisa “nyapres”. Tapi apa daya, selain tidak punya kendaraan partai politik yang bisa mengantarkan dirinya, aturan main konstitusi juga memblokade sosok seperti dirinya. Karena harus diusung partai politik dengan PT 20 persen. Sampai sini sudah jelas kan motif “Si Udang di Balik Batu”?
Yang paling mengejutkan adalah pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Baru-baru ini, pimpinan lembaga anti rasuah itu tiba-tiba masuk ke dimensi politik. Keluar dari pakem, jalur pemberantasan korupsi.
Menurut Firli, “Sekarang orang masih heboh dengan apa itu pak, parliamentary threshold, presidential Threshold. Seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. Tapi 0 persen dan 0 rupiah.”
Hal itu disinggung Firli saat memberikan materi di acara Silatnas dan Bimtek anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia Partai Perindo yang digelar di Jakarta Concert Hall, Kebon Sirih, Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Lantas muncul pertanyaan, apakah isu PT 0 persen sudah seseksi itu sehingga membuat mereka merapatkan dalam satu barisan paduan suara yang sama dengan memberikan pernyataan antithesis yang naif tersebut? Atau, memang isu itu hanya satu-satunya celah bagi mereka untuk bisa terlibat dalam kontestasi? Karena wacana serupa sudah sering dilakukan oleh kelompok kontra pemerintah.
Yang perlu diingat, Presidential Threshold itu merupakan ambang batas untuk pemilihan presiden. Seorang Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Selain memang harus melalui skrining kualitatif melalui jalur partai, juga bagian dari ketertiban dalam demokrasi substansial. Peraturan PT 20 Persen sudah berjalan lama, sejak 2009. Kenapa gugatan atas itu muncul kembali, kembali dan kembali?
Bisa dibayangkan, jika PT sesuai yang mereka inginkan, 0 persen, seperti apa kegaduhan yang akan muncul. Karena semua partai akan dipukul rata, punya hak yang sama untuk mendorong jagoannya sebagai calon presiden.
Jika ini terjadi, bisa dipastikan political cost yang dikeluarkan akan jauh lebih besar. Karena semangat koalisi kebersamaan dengan elan gotong royong kebangsaan pasti akan hilang. Yang muncul adalah homo homini lupus, siapa yang kuat, dalam konteks menghalalkan segala cara, dialah yang menang.
Sulit untuk membayangkannya. Bisa saja kemudian Indonesia masuk ke dalam jurang kehancuran demokrasi. Berikutnya, rasa persatuan nasional kita juga akan dengan mudah dikoyak-koyak oleh anasir-anasir dan kaum-kaum komprador yang tidak bertanggung jawab.
Dan ini logika sederhana saja. Bagaimana mungkin partai papan atas seperti PDI Perjuangan, Gerindra dan Golkar disejajarkan hak PT nya melalui sistem 0 persen, dengan partai-partai baru atau partai gurem yang masuk papan bawah.
PDI Perjuangan, Gerindra dan Golkar, misalnya, menjadi besar karena melalui proses perjuangan yang cukup panjang. Bahkan, harus “berkeringat-keringat” dan “berdarah-darah” untuk bisa mencapai level partai papan atas.
Hasil itu, seharusnya dan memang sudah sepatutnya, menjadi parameter sehingga mereka bisa menggenggam PT 20 persen, hasil dari uji materi partai mereka selama ini.
Lantas, para penjaja dan pengasong PT 0 persen dengan naifnya mengatasnamakan demokrasi? Jika melihat muatan substansinya, apa yang mereka gulirkan ini bukan Demokrasi Pancasila yang bernafaskan permusyawaratan perwakilan, tapi Demokrasi Liberal.
Bahkan, di negara yang mengaku berfaham liberal sekalipun masih menggunakan mekanisme dan prasyarat tertentu dalam mengusung calon presiden.
“Jangan ajarkan generasi penerus untuk menghalalkan segala cara, khususnya dalam berpolitik. Bijaklah dalam bernegara. Jangan juga gadaikan kepentingan dan ketertiban nasional untuk syahwat politik pribadi dan golongan.”
Vivere Pericoloso
Aktivis 98, Waketum BARIKADE ’98