Jum’at Agung: Momentum Untuk Merayakan Cinta Allah Yang Menubuh

Ilustrasi

oleh: Alter Imanuel Wowor (Dosen/Akademisi di Fakultas Teologi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN Manado) dan Mahasiswa Program Studi Doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta)

DALAM tradisi Kristen, perayaan jumat agung (sebagai suatu istilah yang merepresentasikan perayaan akan peristiwa kematian Yesus yang tergantung di kayu salib) merupakan salah satu penanda peristiwa penting yang harus dirayakan berdasarkan kalender gerejawi.

Tanpa perlu disuarakan atau dikhotbahkan lewat mimbar-mimbar ibadah, sebagian besar umat Kristen sudah paham bahwa hari raya Jumat Agung (Good Friday) itu merupakan perayaan akan penebusan dosa manusia dan keselamatan bagi seisi dunia. Pemberitaan terkait topik itu setiap tahunnya sudah disampaikan bagi warga gereja, bahkan bisa jadi sudah berkali-kali disampaikan atau disinggung meskipun tidak dalam momentum perayaan Jumat Agung sekalipun.

Sebab, tema itu adalah salah satu pokok ajaran dan keyakinan dalam tradisi keagamaan Kristen. Oleh sebab itulah, saya yakin bahwa pemberitaan atau pemaknaan atas pengorbanan Yesus sang Kristus dan Juruselamat dunia yang tersalib itu tidak hanya terjadi dalam momentum perayaan Jumat Agung. Keyakinan dan ajaran itu bisa dipastikan telah menghidupi dan dihidupi oleh warga gereja dalam spiritualitas kesehariannya. Dalam kerangka berpikir seperti itu, saya hendak mencoba untuk membicarakan aspek lain yang bisa kita maknai dalam dan lewat perayaan Jumat Agung kali ini, yaitu aspek hasrat cinta Allah yang menubuh dan merengkuh kerapuhan manusia.

Peristiwa kematian Yesus yang mengorbankan diri-Nya demi keselamatan seluruh ciptaan-Nya, merupakan suatu bentuk dari aksi cinta Allah yang otentik. Perayaan Jumat Agung bisa dimaknai sebagai perayaan akan desire Allah, suatu perayaan akan Allah yang berhasrat terhadap ciptaan-Nya. Sebab, tidak ada bentuk cinta yang lebih besar daripada seseorang yang memiliki hasrat terhadap yang lain sampai rela mengorbankan diri beserta nyawa-Nya.

Baca Juga:  Pidato Doa Anies, Cerminan Sikap Tawadhu Namun Tajam

Hasrat yang ingin menyelamatkan itulah yang menjadi keagungan dari hari jumat yang disebut agung itu. Memoria passionis, tidak hanya ingatan akan penderitaan, tetapi juga ingatan akan hasrat dan cinta, itulah salah satu dimensi yang bisa dimaknai dan dirayakan lewat peristiwa Dia yang tersalib.

Peristiwa pengorbanan dan kematian Yesus sang Kristus merupakan perayaan dan penegasan akan agape, philia, dan eros Allah terhadap ciptaan-Nya. Allah mencinta ciptaan-Nya tanpa syarat, tanpa alasan, dan tanpa adanya kondisi tertentu. “God loves you because of who God is, not because of anything you did or didn’t do.” Deus est caritas, Allah adalah kasih dan cinta, itulah salah satu konsepsi keyakinan Kristen. Allah adalah sumber, pelaku, serta inspirasi dari cinta dan perbuatan mencinta. Cinta dari Allah Sang Pencinta itu tidak akan berubah dan sirna, sekalipun manusia dan ciptaan lainnya berubah. Ia akan tetap menjadi Allah yang terus mencinta, sekalipun mereka yang dicintai oleh-Nya itu tidak menanggapi perasaan dan hasrat cinta-Nya. Inilah kasih dan cinta Allah dalam terminologi agape itu.

Lewat peristiwa pengorbanan dan kematian Yesus, kita bisa juga mendapatkan petunjuk bahwa Allah Persekutuan itu adalah Allah yang mencintai dan menyahabati ciptaan-Nya. Philia adalah cinta yang preferensial, menunjuk pada persahabatan (friendship). Deus est amicita atau Allah adalah persahabatan (dikemukakan oleh seorang teolog abad keduabelas bernama Aelred de Rievaulx); Tuhan yang diimani oleh umat Kristen adalah Allah sebagai seorang sahabat yang mau bersahabat dan menyahabati ciptaan-Nya.

Baca Juga:  New Normal Pilkada 2020

Konsep ini sering didasarkan pada teks Yohanes 15:15, yang berbunyi “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Konsep ini hendak menegaskan juga bahwa Allah ikut menderita dan berbagi kehidupan bersama sahabat-sahabat-Nya. Ia yang mau agar sahabat-sahabat-Nya selamat.

Dengan menjadi manusia seutuhnya dan sepenuhnya, atau lebih tepat disebut merengkuh hakikat kemanusiaannya, Yesus hendak menegaskan bahwa Ia bersolider dengan manusia; Ia bersahabat dan menyatu dengan penderitaan dan keterbatasan manusia. Dengan mengorbankan diri-Nya dan lewat kematian-Nya, Ia menempatkan preferensi terhadap ciptaan-Nya. Suatu kerelaan diri untuk mengorbankan diri-Nya, demi keselamatan dan kebahagiaan sahabat-sahabat-Nya itu. Inilah salah satu dimensi altruistik Yesus yang perlu diteladani oleh umat-Nya.

Peristiwa salib atau kematian Yesus juga bisa kita maknai sebagai tindakan eros Allah. Sangat disayangkan apabila istilah eros ini direduksi maknanya menjadi sesuatu yang bersifat erotis atau cabul. Cinta dalam term eros bisa diartikan sebagai cinta yang menubuh atau berwujud (embodied love). Bisa juga diartikan sebagai suatu hasrat (desire; longing; yearning) untuk terkoneksi atau menyatu dengan yang lain. Eros merupakan wajah cinta Allah; merupakan cinta Allah yang konstitutif. Agape dan philia tidak akan terjadi jika tidak menubuh dalam eros.

Intinya, cinta itu perlu aksi atau wujud yang konkret. Allah yang berhasrat untuk memiliki relasi baik dan merengkuh ciptaan-Nya kembali, dibuktikan atau menubuh atau berwujud lewat kematian Yesus yang tergantung di kayu salib. Pengorbanan diri Yesus merupakan wujud cinta Allah yang autentik dan konkret, itulah eros Allah. Dengan demikian, peristiwa salib bisa dimaknai sebagai suatu peristiwa mediasi dan rekonsiliasi antara pencipta dengan ciptaan-Nya lewat cinta yang menubuh atau teralami secara nyata dalam sejarah manusia.

Baca Juga:  Di Terpa Gelombang, Golkar Sulut Harus Diselamatkan E2L

Pesan teologis yang bisa kita pelajari dari peristiwa kematian Yesus di kayu salib adalah melanjutkan cinta kasih Allah itu dalam keseharian hidup kita masing-masing. Cinta dan kasih Allah kiranya menginspirasi setiap kita untuk mengekspresikan dan membagikan cinta kepada setiap orang yang kita temui. Mencintai selalu beresiko, tetapi tetaplah mencintai dengan tulus.

Cinta agape, philia, dan eros bisa dilakonkan oleh manusia juga. Varian model cinta itu menjadi undangan bagi kita semua untuk mempraktikannya dalam kehidupan kita setiap hari, karena Allah Sang Pencinta itu telah terlebih dahulu memberikan teladan yang konkrit bagi kita. Allah yang mencintai dengan sempurna ketidaksempurnaan manusia dan semua ciptaan-Nya merupakan dasar yang menjadi inspirasi manusia untuk mempraktikan cinta kepada semua manusia sebagai sesama imago Dei yang ringkih (vulnerable) dan rentan (fragile). Cinta kepada Allah idealnya akan melahirkan cinta kepada sesama manusia dan ciptaan lainnya. Mengasihi dan mencintai Allah, akan terwujud dan berwujud ketika kita mengasihi dan mencintai sesama.

Tetelestai!

Selamat merayakan peristiwa cinta Allah yang menubuh lewat dan dalam pengorbanan Yesus yang mati tergantung di kayu salib Golgota.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *