TOGO, PASAR TRADISIONAL & KOPERASI WAKAF UMAT

ReO ‘Reiner Ointoe’ dan Togo (Foto Istimewa)

Oleh: ReO, Fiksiwan

“Pasar tradisional merupakan salah satu sokoguru ekonomi urban dan menjadi indikator baik-buruknya ekonomi wargakota dengan tipe kota apapun serta penjelmaan karakter ‘urban society’ dan ‘public policy’ sebuah kota.” (Hernando De Soto, “The Other Path”,1986).

Beberapa pekan silam, sehabis bertemu dengan para aktivis kebudayaan di kafe Pojok Indie milik sutradara teater superkreatif Achi Breyvi Talanggai bersama Eric Dajoh dan Satria (NCCL Bitung), diajak istri Heesye Sigar ‘bakudapa’ dengan salah satu anggota Rukun Sigar, Ronny Sigar alias Togo di lapak ritel dan sembakonya di pasar Bersehati Jengki.

Togo alias Robby Sigar (47) adalah salah satu dari ratusan lebih penjaja yang telah cukup lama menggeluti dunia penjaja di kawasan pasar Bersehati (Jengki = Yankee).

Setelah menyimak jenak ulasan Togo yang diselingi humor khas para penjaja (K5) di manapun, perspektif Togo atas masalah klasik dan klise ihwal penanganan pasar Jengki khususnya, ada sejumlah masalah kronis yang harus diamputasi untuk memperbaiki kinerja bagaimana pasar (tradisional) harus dikelola dengan manajemen berorientasi ‘ekosos’ (ekologi-ekonomi-sosial).

Baca Juga:  PROFETOLOGI

Menyimak lagi penjelasan Togo, kondisi terkini pasar-pasar tradisional di Manado, ternyata masih menjadi kawasan ekonomi publik yang dikelola dengan standar manajemen ‘kekuasaan’ (politik). Mulai dari rekrut para direksi hingga para ‘pemalak’ retribusi. Sebagai contoh, untuk retribusi parkir kendaraan saja sehari bisa ‘memalak’ setoran sebesar 10 juta. Belum retribusi-retribusi lain seperti listrik dan lapak.

Karena itu Togo menjadi semacam penjaja (peddlers) klontong sembako (plus) yang menerapkan manajemen subdistribusi sembako (plus). Bahkan untuk mengantisipasi itu, Togo bikin Yayasan Maasing Mandiri Sejahtera (YM2S) untuk berikhtiar agar usaha klontongnya bisa ‘membina’ rekan-rekan sub-penjaja (street vendor) lainnya yang sering dijerat oleh rentenir modal bagi distribusi rantai para pedagang sembako musiman yang berjumlah ribuan di kawasan pasar tradisional Bersehati Jengki.

Baca Juga:  Politik dan Politisasi Covid-19

Untuk menjawab tantangan dan masadepan mereka sebagaimana diharapkan bahwa agar para penjaja (peddlers & street vendors) bisa terhindar dari “manajemen liar (unmanagemenble) pasar tradisional yang sering diurus oleh oknum-oknum PD Pasar — dari lapis preman, pemalak, retributor ilegal, rentenir hingga pengurus siluman, Togo cs. ikut mendirikan Koperasi Wakaf Umat yang diharapkan bisa memediasi kemaruk dan kekisruhan persoalan klise dan klasik pasar-pasar tradisional pada umumnya.

Pertemuan pengurus Koperasi Wakaf Umat (Foto Exposemedia)

Akhirnya, Togo adalah matarantai (retail of chains) yang tenggelam dari mekanisme distribusi ekonomi pasar tradisional yang kumuh dan kemaruk dan nyaris jauh dijangkau dan hitungan oleh kebijakan UMKM yang umumnya diabaikan atau tak diperdulikan oleh manajemen BUMD Pasar.

Baca Juga:  EKOLOGI FILANTROPIS

Secara teori, kemaruk manajemen pasar tradisional di manapun, telah banyak menciptakan peluang dan kemajuan seperti yang dilakukan oleh ahli manajemen pasar tradisional asal Peru, Hernando de Soto (The Third Path) dan nobelis ekonomi asal Banglades, Muhammad Yunus (Bank for Poor) yang telah meraih perhargaan Nobel ekonomi 2006.

Harapan atas sengkarutnya manajemen pasar-pasar tradisional Pinasungkulan (Ranotana) hingga Bersehati (Jengki) di Manado, tentu akan diuji oleh struktur pengurus PD Pasar yang baru dan akan menjadi harapan baru bagi publik pasar dan warga kota Manado. Dan kiranya, struktur manajemen PD Pasar Manado yang baru ini akan mencerminkan profesionalitas dan urusan baru akses dan aset publik. “Pun bukan ajang untuk aksesibilitas kinerja konsesi dan politik balas budi (political compassionate) kinerja ‘citizenship’ Pemkot Manado yang baru,” ungkap seorang pemerhati “urban society.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *