Oleh;
KATAMSI GINANO
(Aktivis/tokoh masyarakat)
CHARLES Babbage (1791-1871), pelopor dan peletak dasar teknologi komputasi, pasti tak pernah membayangkan di abad 21 manusia nyaris bergantung pada komputer.
Para ilmuwan (yang bekerja dengan militer Amerika) di ARPA (Advanced Research Project Agency) yang lalu menapak jejak Babbage pada 1969, tak menduga pula ARPANET yang berevolusi hingga menjadi Internet yang kita kenal saat ini, bakal total mengubah peradaban. Dari hardware sebesar Gudang beras, teknologi komputer dengan cepat melesat hingga ada dalam genggaman.
Hukum Moore yang dicetuskan salah satu pendiri Intel, Gordon Earle Moore (kini berusia 91 tahun), menegaskan kecepatan pertumbuhan teknologi komputer (melalui pertumbuhan kecepatan mikroprosesor) mengikuti rumus eksponensial. Pendek kata, setiap hari teknologi komputasi dan ikutannya lahir dan akhirnya menciptakan ketergantungan pada manusia modern.
Hardware yang kian canggih diikuti sama pesatnya dengan perkembangan software. Dan memang, apalagi yang tidak bisa diprogram di era kini?
Senyampang mempercakapkan komputer dan Internet, ingatan saya langsung berlabuh pada pendiri dan direktur Media Lab Massachusetts Institute of Technology, Nicholas Negroponte. Bukunya, Being Digital (1995)—yang diperkenalkan seorang kawan akrab pada 1996—, bagai paku yang menancap di benak. Bahwa, demikian kira-kira jika kita menyarikan buku ini: Dengan komputer dan Internet, dunia menjadi digital. Ada dalam genggaman dan bersama kita setiap waktu, di setiap tempat.
Nujum Negroponte pada 1995 adalah senyata-nyata keseharian manusia milenial. Telepon selular yang sekarang pintar minta ampun, benar-benar menjadikan dunia berada dalam genggaman. Meringkus waktu dan jarak. Dan mengubah kita dari homo sapiens ke homo digitalis.
Bahkan di polosok yang kita sebut udik pun, sepanjang ada signal selular, orang yang punya telepon pintar paling minim leluasa mengakses WA. SMS? Jadul dan cuma jadi kenangan buat aki-aki dan nini-nini. Yang keren dan modern, ya, bergabung di media sosial jagad Internet: facebook, Twitter, Instagram, dan Anda bisa menyebutkan deretan panjang lainnya—dengan WA termasuk di dalamnya.
Saya, yang lahir dan tumbuh di era analog, harus mengakui terguncang dengan zaman media sosial. Saking terguncangnya, saya gagap dengan facebook dan kawan-kawan. Dan supaya tidak ikut meheng setiap saat update status, berkicau, atau memperbaharui foto, saya cukup puas ber-WA. Termasuk ikut atau terpaksa rela diseret bergabung dengan WA group.
Dari ber-WA saja, saya tahu: homo digitalis sungguh berisik di dunia maya, pula narsis, terutama jika ada dalam kumpulan. Grup WA praktis adalah representasi mini dari yang lebih gergasi seperti facebook dan twitter. Semua yang bergabung nyaris merasa dirinya jagoan, yang terpintar, kelas pahlawan, dan segala yang dilakukan mesti di-share demi icon jempol atau meme kagum anggota majelis WA yang lain.
Lalu Covid-19 tiba-tiba menyeruak dan mendorong keriuhan serta narsisme di WA (sebab, sekali lagi, saya hanya ber-WA ditambah untuk hal-hal tertentu Telegram) ke titik yang membuat saya ingin muntah. Segala hal, mulai yang masuk akal hingga menghancurkan logika, dipertukarkan dengan tempo sangat tinggi. Gambar-gambar dan video lalu-lalang. Dari himbauan hingga hoax yang diproduksi pikiran dan laku sampah.
Dan yang sungguh menjijikkan, di hampir semua grup WA saya terpaksa hanya mengusap dada dibombardir foto-foto para narsistik yang dengan wajah gembira menyerahkan bantuan (biasanya sembako atau sekadar masker; dengan penerima yang menunjukkan tampang campuran sedih, merasa kalah, atau terpaksa—lapar dan ketindakmampuan sering mendorong manusia pada kompromi harga diri.
Saya yakin Babbage, ilmuwan-ilmuwan di ARPA, Negroponte, dan para jenius yang menghadirkan kehidupan digital, sejak mula meniatkan ikhtiar mereka demi memuliakan manusia, kehidupan, dan jagad yang ditempatinya. Kita, para homo digital, kini mereduksi ketinggian capaian peradaban itu menjadi sekadar adu jago dan media narsisiti