Bung Karno, Api Revolusimu akan Terus Menyala Sepanjang Zaman

Nuryaman Berry Hariyanto

Oleh : Nuryaman Berry Hariyanto

SOEKARNO bukan hanya Putra Sang Fajar. Juga bukan sekadar penyambung lidah rakyat Indonesia. Soekarno tidak cuma dikenal sebagai Bapak Proklamator. Dus, Soekarno tidak hanya tercatat dengan tinta emas sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia.

Lebih dari itu. Soekarno adalah Pemimpin Besar Revolusi yang namanya menggema ke seantero dunia. Banyak pemimpin-pemimpin mondial terinspirasi oleh spirit progresif revolusioner Soekarno. Pemikiran-pemikiran besarnya, baik lewat tulisan maupun pidato-pidatonya yang menggelegar, telah banyak membangunkan kesadaran akan pentingnya semangat persatuan untuk terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan.

Semangat juang yang tak kenal lelah melawan neo kolonialisme dan imperialisme (nekolim) seorang Soekarno tak diragukan. Meski risikonya harus berkali-kali ditangkap, hidup dari penjara ke penjara, sampai berulang kali mendapat serangan granat, kesadaran perjuangannya tak pernah pudar.

Bahkan, di era perang dingin, Soekarno mampu mengumpulkan kekuatan negara-negara Asia Afrika dengan membangun blok baru dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika di Bandung, atau yang lebih dikenal dengan KTT Non Blok. Sehingga muncul sinthesa peta baru kekuatan gerakan bernama NEFOS, New Emerging Force.

Soekarno lulus dari Technische Hogeschool te Bandoeng, pada 25 Mei 1926, sebagai Insinyur Teknik Sipil. Pada Dies Natalis ke-6 kampus tersebut, 3 Juli 1926, Soekarno diwisuda bersama 18 insinyur lainnya. Kemudian, pada 2 Maret 1959, kampus itu diresmikan menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Soekarno sudah menjadi Presiden, dan ia meresmikan ITB dengan berpidato tanpa teks, sambil bernostalgia menceritakan masa kuliahnya dulu.

Baca Juga:  Indonesia, Duka Silih Berganti Tragedi Udara, Darat dan Laut

Di Bawah Bendera Revolusi (DBR) adalah salah satu buku “master piece” Soekarno yang diterbitkan tahun 1959. Buku ini menjadi salah satu bacaan wajib kaum pergerakan. Dalam pidato-pidatonya, Soekarno kerap menyitir kalimat “exploitation de l’homme par l’homme, exploitation de nation par nation”. Dan tidak tanggung-tanggung, Soekarno mendapat 26 gelar honoris causa (HC) dari 7 universitas dalam negeri dan 19 universitas luar negeri.

Kusno, demikian nama kecil yang diberikan kedua orangtuanya sejak lahir pada 6 Juni 1901 bersamaan dengan Gunung Kelud meletus. Kusno kecil tinggal di rumah perkampungan padat penduduk, di Pandean IV, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Jawa Timur.

Ibunda Soekarno, Ida Ayu Nyoman Rai adalah wanita keturunan bangsawan dari Raja Singaraja terakhir. Sedangkan sang ayah, Raden Soekemi Sosrodihardjo adalah seorang guru kelahiran Surabaya. Keduanya bertemu saat Soekemi menjadi guru di Bali.

Baca Juga:  Musdalub Digelar, Rhamdani: Hanura Sulut Menjadi Poros Kekuatan Politik Baru

Kusno kecil sering sakit-sakitan hingga membuat kedua orangtuanya cemas. Sampai akhirnya, sang ayah mengambil keputusan untuk mengganti nama Kusno menjadi Soekarno. Bagi orang Jawa, mengubah nama anak yang sering sakit bisa membuat nasib lebih baik.

Ayah Soekarno dengan sekuat tenaga berusaha agar putranya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Soekarno pun bisa menempuh pendidikan di sekolah tingkat menengah yang mengantarkannya hingga perguruan tinggi, Hogere Burger School di Surabaya.

Selanjutnya, sang ayah menitipkan Soekarno di rumah seorang tokoh pergerakan nasional, Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto, di sebuah jalan kecil bernama Gang Paneleh VII, No. 29-31, di tepi Sungai Kalimas, Surabaya.

Tjokroaminoto adalah pemimpin Sarekat Islam (SI), organisasi pribumi terbesar saat itu. Sosok Tjokroaminoto lantas menjadi salah satu guru ideologis yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup Sang Pemimpin Besar Revolusi.

Selama tinggal bersama Tjokroaminioto, Soekarno mendapat banyak pengalaman dan kenalan dengan tokoh-tokoh progresif penentang kolonialisme, seperti Semaoen, Alimin, Musso dan Kartosoewirjo. Hingga di kemudian hari, Soekarno menjelma menjadi sosok yang cerdas, berani dan pandai berpidato.

Banyak alumni rumah kos Tjokroaminoto yang menjadi tokoh pergerakan sebelum kemerdekaan. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia. Semaoen, Alimin, dan Musso menjadi tokoh-tokoh utama Partai Komunis Indonesia serta Kartosoewirjo menjadi pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar pikiran.

Baca Juga:  Anomali Pemilu 2024: Penuh Kecurangan TSM, Jokowi Khianati Demokrasi dan Konstitusi

Dalam salah satu biografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno mengenang Tjokroaminoto sebagai idolanya. Soekarno belajar tentang bagaimana menggunakan politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat.

Soekarno juga belajar tentang bentuk-bentuk modern pergerakan seperti pengorganisiran massa dan perlunya menulis di media. Sesekali Soekarno menulis menggantikan Tjokroaminoto di Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Soekarno juga kerap menirukan gaya Tjokroaminoto berpidato.

Sehingga tak bisa dipungkiri, di rumah Tjokroaminoto inilah menjadi kawah candradimuka awal Soekarno mengenal tentang ilmu gerakan, politik, kemanusiaan dan peradaban. Di kediaman Tjokroaminoto yang mendapat gelar “Raja Jawa Tanpa Mahkota” ini pula, Soekarno terpikul dan memikul nature terkait Trilogi petuah Tjokroaminoto yang termasyhur, yakni “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepandai-pandai siasat.” Sedangkan Soekarno membuat Trisakti yang isinya “Berdaulat di Bidang Politik, Mandiri di Bidang Ekonomi, dan Berkepribadian di Bidang Budaya”.

Dirgahayu ke-121 Paduka Yang Mulia Soekarno.

Api Revolusi yang Kau Kobarkan akan Terus Menyala Sepanjang Zaman.

Waketum 1 Barikade’98

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *